Definisi Salaf
Dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari
Pengertian Salaf Secara Bahasa (Etimologi):
Yaitu, apa yang telah berlalu dan mendahului, seperti ungkapan: “Salafa asy-syai-u”, “Salafan” artinnya “madha” (telah berlalu). Dan “Salaf” artinya sekelompok pendahulu atau suatu kaum yang mendahului dalam perjalanan. Allah Ta’ala berfirman, “Maka tatkala mereka membuat Kami murka, kami menghukum mereka lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut), dan Kami jadikan mereka sebagai contoh dan pelajaran bagi orang-orang yang kemudian.” (Az-Zukhruuf: 55-56). Maksudnya adalah Kami (Allah) menjadikan orang-orang terdahulu itu sebagai contoh bagi orang yang hendak berbuat seperti perbuatan mereka, agar generasi setelah mereka mengambil pelajaran dan teladan darinya.
Yaitu, apa yang telah berlalu dan mendahului, seperti ungkapan: “Salafa asy-syai-u”, “Salafan” artinnya “madha” (telah berlalu). Dan “Salaf” artinya sekelompok pendahulu atau suatu kaum yang mendahului dalam perjalanan. Allah Ta’ala berfirman, “Maka tatkala mereka membuat Kami murka, kami menghukum mereka lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut), dan Kami jadikan mereka sebagai contoh dan pelajaran bagi orang-orang yang kemudian.” (Az-Zukhruuf: 55-56). Maksudnya adalah Kami (Allah) menjadikan orang-orang terdahulu itu sebagai contoh bagi orang yang hendak berbuat seperti perbuatan mereka, agar generasi setelah mereka mengambil pelajaran dan teladan darinya.
Jadi
makna Salaf adalah orang yang telah mendahului anda baik itu nenek
moyang maupun kerabat keluarga anda, dimana mereka di atas anda baik
dari segi umur ataupun kebaikannya. Oleh karena itu, generasi pertama
dari kalangan Tabi’in dinamakan “as-Salafush Shalih. (Lihat kamus bahasa
Arab: Taajul ‘Aruus, Lisaanul ‘Arab dan al-Qaamuusul Muhuth:
(bab:Salafa).
Pengertian Salaf Secara Istilah (Terminologi):
Kata
“Salaf” menurut kalangan ulama aqidah, teriminologinya sekitar
‘Sahabat’, atau ‘Sahabat dan Tabi’in atau ‘Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut
Tabi’in’ yang hidup di masa (tiga abad pertama) yang dimuliakan dari
kalangan para imam yang telah diakui keimanannya, kebaikannya,
kepahamannya terhadap as-Sunah dan keteguhannya dalam menjadikan
as-Sunnah sebagai pedoman hidupnya, menjauhi bid’ah, dan dari
orang-orang yang telah disepakati oleh ummat tentang keimanan mereka
serta keagungan kedudukan mereka dalam agama. Oleh karena itu, generasi
permulaan Islam dinamakan “as-Salafush Shalih”. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya,
dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami
masukakan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali.” (An-Nissa’: 115).
Firman-Nya pula, ““Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara
orang-orang
muhajirin dan anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan
Allah menyediakan bagi mereka Surga-surga yang mengalir sungai-sungai
didalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan
yang besar.” (At-Taubah: 100).
Nabi Muhammad SAW
bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah (orang yang hidup) pada masaku ini
(yaitu generasi Sahabat), kemudian yang sesudahnya (generasi Tabi’in),
kemudian yang sesudahnya (generasi Tabi’ut Tabi’in).” (HR. Al-Bukhari
dan Muslim). (HR. Al-Bukhari no. 2652 dan Muslim no. 2533 (212), dari
Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud r.a.).
Pemimpin Salafush Shalih Adalah Rasulullah SAW
“Muhammad
itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah
keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka:
kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan
keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas
sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat
mereka dalam Injil.” (Al-Fat-h: 29).
Allah Ta’ala
telah memadukan antara ketaatan kepada-Nya dan ketaatan kepada Rasul-Nya
SAW, dengan berfirman-Nya, “Dan barangsiapa mentaati Allah dan
Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang
dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: nabi-nabi, para shiddiqiin,
orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah
teman yang sebaik-baiknya” (An-Nisaa’: 69).
Allah
menjadikan ketaatan kepada Rasul SAW merupakan konsekuensi dari ketaatan
kepada Allah Ta’ala. Firman-Nya, “Barangsiapa mentaati Rasul itu,
sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa berpaling (dari
ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi
mereka.”( An-Nissa’: 80).
Allah Ta’ala mengabarkan
bahwa ketidaktaatan kepada Rasul dapat menggugurkan dan membatalkan amal
perbuatan seseorang. Firman-Nya, ““Hai orang-orang yang beriman,
taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan janganlah kamu
merusakkan (pahala) amal-amalmu.” (Muhammad: 33).
Dan
Dia melarang kita melanggar perintah Rasul SAW. Firman-Nya, “Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul_nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api Neraka
sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.”
(An-Nisaa’: 14)
Allah Ta’ala menyuruh kita agar
menerima apa yang diperintahkan oleh Rasul SAW dan meninggalkan apa
yang dilarangnya. Allah Ta’ala befirman: “.....Apa yang diberkan Rasul
kepadamu maka terimalah dia! Dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah! Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat
keras hukuman-Nya.” (Al-Hasyr: 7).
Allah Ta’ala
memerintahkan kita agar mengangkat beliau SAW sebagai hakim (penengah)
dalam segala aspek kehidupan kita dan mengembalikan semua hukum kepada
hukum dan peraturan beliau. Allah SWT berfirman :
“Maka
demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perakara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisaa’: 65).
Allah
Ta’ala sudah menyampaikan kepada kita bahwa Nabi-Nya SAW adalah sosok
suri teladan dan contoh terbaik; dimana konsekuensinya adalah beliau
harus diikuti dan diteladani. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari Kiaman dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzaab: 21)
Allah menyertakan keridhaan-Nya bersamaan dengan keridhaan Rasul-Nya SAW, sebagaimana firman-Nya:
“....Allah
dan Rasul-Nya itulah yang lebih patut mereka cari keridhaannya, jika
mereka adalah orang-orang yang mukmin.” (At-taubah: 62).
Allah pun menjadikan tindakan mengikuti Rasul-Nya SAW sebagai tanda kecintaan kepada-Nya. Firman-Nya:
“Katakanlah:
‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31).
Oleh karena itu,
rujukan Salafush Shalih ketika terjadi perselisihan adalah al-Qur’an dan
Sunnah Rasul-Nya SAW, sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala
:“.....Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (al-Qur-an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisaa’ : 59).
Sebaik-baik
Salaf setelah Rasulullah SAW adalah para Sahabat, yaitu mereka yang
telah mengambil agamanya dari beliau SAW secara benar dan penuh
keikhlasan, seabagaimana Allah Ta’ala telah menjelaskan sifat mereka
dalam Kitab-Nya yang mulia, dengan firman-Nya, “Diantara orang-orang
mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan
kepada Allah; maka diantara mereka yang gugur. Dan diantara mereka ada
(pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah
(janjinya).” (Al-Ahzaab: 23).
Kemudian orang-orang
yang datang setelah mereka, dari tiga generasi pertama yang dimuliakan,
seperti yang disabdakan Rasulullah SAW tentang mereka, “Sebaik-baik
manusia adalah (orang yang hidup) pada masaku ini (yaitu generasi para
Sahabat), kemudian yang sesudahnya (generasi Tabi’in), kemudian yang
sesudahnya (generasi Tabi’ut Tabi’in).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
(HR. Al-Bukhari no. 2652 dan Muslim no. 2533 (212), dari Sahabat
‘Abdullah bin Mas’ud r.a).
Oleh karena itu, para
Sahabat dan Tabi’in itulah yang lebih berhak untuk diikuti daripada
lainnya, dikarenakan kejujuran mereka dalam keimanan, dan keikhlasan
mereka dalam beribadah merekalah penjaga (kemurnian) ‘aqidah, penlindung
syari’at dan pelaksanaannya baik secara perkataan maupun perbuatan.
Oleh karena itu, Allah Ta’ala memilih mereka untuk menyebarkan agama-Nya
dan menyampaikan Sunnah Rasul-Nya SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM
Nabi
SAW bersabda, “.... Ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga
golongan, semuanya di dalam Neraka kecuali satu golongan.” Lalu para
Sahabat bertaanya: ‘Wahai Rasulullah, siapa dia? Beliau menjawab: ‘Yaitu
mereka berada apa yang telah ditempuh olehku dan Sahabatku.’” (Shahih
Sunan at Tirmidzi oleh Imam al-Albani). (HR. At-Tirmidzi no. 2641 dan
al-Hakim (I/129) dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr, dan dihasankan oleh
Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’ no. 5343).
Bagi
siapapun yang mendikuti jejak Salafush Shalih dan berjalan di atas
manhaj mereka di semua zaman dinamakan: “Salafi,” dinisbahkan kepada
mereka, dan sebagai pembeda antara dia dengan orang-orang yang
menyelisihi manhaj Salaf dan mengikuti selain jalan mereka.
Allah
Ta’ala berfirman, “Dan barang siapa menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya
itu dan kami masukkan ia ke adalam Jahannam dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisaa’: 115).
Oleh karena itu, seorang Muslim sudah seharusnya untuk merasa bangga dengan penisbatan dirinya kepada mereka (Salafush Shalih).
Lafazh
“Salafiyyah” menjadi sebutan pada penerapan metode Salafush Shalih
dalam mengambil (ajaran) Islam, memahami dan Mengamalkannya. Dengan
demikian, maka pengertian “Salafiyyah” itu ditunjukkan kepada
orang-orang yang berpegang teguh sepenuhnya terhadap al-Qur-an dan
Sunnah Rasulullah SAW dengan pemahaman Salaf.
Sumber:
Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii
Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama'ah), atau Intisari
Aqidah Ahlus Sunah wal Jama'ah), terj. Farid bin Muhammad
Bathathy(Pustaka Imam Syafi'i, cet.I), hlm.39--48.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar