Jual Beli yang Terlarang
1. Jual Beli secara Gharar (yang tidak jelas sifatnya)
Yaitu segala bentuk jual beli yang di dalamnya terkandung jahalah (unsur ketidakjelasan), atau di dalamnya terdapat unsur taruhan atau judi.
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “Rasulullah telah mencegah (kita) dari
(melakukan) jual beli (dengan cara lemparan batu kecil) dan jual beli
barang secara gharar.” (Shahih: Muktashar Muslim no: 939, Irwa’ul Ghalil
no: 1294, Muslim III: 1153 no: 1513, Tirmidzi II: 349. no: 1248, ‘Aunul
Ma’bud IX: 230 no: 3360, Ibnu Majah II: 739 no: 2194 dan Nasa’i VII:
262).
Imam Nawawi dalam Syarhu Muslimnya X: 156 menjelaskan “Adapun
larangan jual beli secara gharar, merupakan prinsip yang agung dari
sekian banyak prinsip yang terkandung dalam Bab Jual Beli, oleh karena
itu, Imam Muslim menempatkan hadits gharar ini di bagian pertama dalam Kitabul Buyu’
yang dapat dimasukkan ke dalamnya berbagai permasalahan yang amat
banyak tanpa batas, seperti, jual beli budak yang kabur, jual beli
barang yang tidak ada, jual beli barang yang tidak diketahui, jual beli
barang yang tidak dapat diserahterimakan, jual beli barang yang belum
menjadi hak milik penuh si penjual, jual beli ikan di dalam kolam yang
lebar, jual beli air susu yang masih berada di dalam tetek hewan, jual
beli janin yang ada di dalam perut induknya, menjual sebagian dari
seonggok makanan dalam keadaan tidak jelas (tanpa ditakar dan tanpa
ditimbang), menjual satu pakaian di antara sekian banyak pakaian,
menjual seekor kambing di antara sekian banyak kambing, dan yang semisal
dengan itu semuanya. Dan, semua jual beli ini bathil, karena sifatnya gharar tanpa ada keperluan yang mendesak.”
Selanjutnya, beliau (Nawawi) berkata : “Kalau ada hajat yang
mengharuskan melakukan gharar, dan tertutup kemungkinan untuk
menghindarinya, kecuali dengan amat sulit sekali, lagi pula gharar
tersebut bersifat sepele, maka boleh jual beli yang dimaksud. Oleh
sebab itu, kaum muslim sepakat atas bolehnya jual beli jas yang di
dalamnya terdapat kapas yang sulit dipisahkan, dan kalau kapasnya dijual
secara terpisah justru tidak boleh.”
“Ketahuilah bahwa jual beli barang secara mulamasah, secara munabadzah, jual beli barang secara habalul habalah,
jual beli barang dengan cara melemparkan batu kecil, dan larangan itu
semua yang terkategori jual beli yang ditegaskan oleh nash-nash tertentu
maka semua itu masuk ke dalam larangan jual beli barang secara gharar.
Akan tetapi jual beli secara gharar ini disebutkan secara sendirian dan
ada larangan secara khusus, karena praktik jual beli gharar ini termasuk
praktik jual beli jahiliyah yang amat terkenal. Wallahu a’lam."
2. Jual Beli Secara Mulamasah dan Munabadzah
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “(Kita) dilarang dari (melakukan) dua bentuk jual beli: yaitu secara mulamasah dan munabadzah. Adapun munabadzah ialah setiap orang dari pihak penjual dan pembeli meraba pakaian rekannya tanpa memperhatikannya. Sedangkan munabadzah
ialah masing-masing dari keduanya melemparkan pakaiannya kepada
rekannya, dan salah satu dari keduanya tidak memperhatikan pakaian
rekannya” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 938 dan Muslim III: 1152 no: 2
dan 1511).
Dari Abu Sa’ad al-Khudri ra, ia berkata, “Rasulullah telah melarang kita
dari (melakukan) dua bentuk jual beli dan dua hal yang mengandung
ketidakjelasan: yaitu jual beli secara mulamasah dan munabadzah. Mulamasah
ialah seseorang meraba pakaian orang lain dengan tangannya, pada waktu
malam atau siang hari, tetapi tanpa membalik-baliknya; dan munabadzah
ialah seseorang melemparkan pakaiannya kepada orang lain dan orang lain
itupun melemparkan pakaiannya kepada pelempar pertama yang berarti
masing-masing telah membeli dari yang lainnya tanpa diteliti dan tanpa
saling merelakan.” (Muttafaqun’alaih: Muslim III: 1152 No 1512, dan ini
lafadznya, Fathul Bari IV: 358 no: 2147, 44, ’Aunul Ma’bud IX: 231 no:
3362 dan Nasa’i VII: 260).
3. Jual Beli Barang secara Habalul Habalah
Dari Ibnu Umar ra, ia berkata, “Adalah kaum jahiliyah biasa melakukan
jual beli daging unta sampai dengan lahirnya kandungan, kemudian unta
yang dilahirkan itu bunting. Dan, habalul habalah yaitu unta yang
dikandung itu lahir, kemudian unta yang dilahirkan itu bunting, kemudian
Nabi melarang yang demikian itu.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV:
356 no: 2143, Muslim III: 1153 no: 1514, ‘Aunul Ma’bud IX: 233 no: 3365,
64, Tirmidzi II: 349 no: 1247 secara ringkas, Nasa’i VII: 293 dan Ibnu
Majah II:740 no: 2197 secara ringkas).
4. Jual Beli Dengan Lemparan Batu Kecil
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “Rasulullah saw melarang jual beli
dengan lemparan batu kecil dan jual beli secara gharar.” (Hasan: Shahih
Ibnu Majah no: 1817 dan Ibnu Majah II: 752 no: 2235).
Dalam kitab Syarhu muslim X:156, Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Adapun jual beli secara lemparan batu-batu kecil itu, ada tiga penafsiran:
Pertama, seorang penjual berkata pada si pembeli, ‘Saya
menjual dari sebagian pakaian ini, yang terkena lemparan batu saya,’
atau ia berkata kepada si pembeli, ‘Saya menjual kepadamu tanah ini,
yaitu dari sini sampai dengan batas tempat jatuhnya batu yang
dilemparkan.’
Kedua, seorang berkata kepada si pembeli, ‘Saya jual kepadamu barang ini, dengan catatan engkau mempunyai hak khiyar (pilih) sampai aku melemparkan batu kecil ini.’
Ketiga, pihak penjual dan pembeli menjadikan sesuatu
yang dilempar dengan batu sebagai barang dagangan, yaitu pembeli berkata
kepada penjual, ‘Apabila saya lempar pakaian ini dengan batu, maka ia
saya beli darimu dengan harga sekian.’
5. Upah Persetubuhan Pejantan
Dari Ibnu Umar ra, ia berkata, “Nabi saw melarang (makan) upah
persetubuhan pejantan.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 939, Fathul Bari
IV: 461 no: 2284, ‘Aunul Ma’bud IX: 296 no: 3412, Tirmidzi II: 372 no:
1291 dan Nasa’i VII: 310).
6. Jual Beli Sesuatu yang Belum Menjadi Hak Milik
Dari Hakim bin Hizam ra, ia berkata : Aku berkata, “Ya Rasulullah, ada
seorang yang akan membeli dariku sesuatu yang tidak kumiliki. Bolehkan
saya menjualnya?” Maka jawab beliau, “Jangan kamu jual sesuatu yang tidak menjadi milikmu.” (Shahih:
Irwa’ul Ghalil no: 1292, Ibnu Majah II: 737 no:2187, Tirmidzi II:350
no: 1250, ‘Aunul Ma’bud IX: 401 no: 3486, Nasa’i VII: 289).
7. Jual Beli Barang yang Belum Diterima
Dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa membeli makanan, maka janganlah ia menjualnya hingga ia menerimanya.”
Ibnu Abas berkata, “Saya menduga segala sesuatu sama statusnya dengan
makanan.” (Muttafaqun ’alaih: Muslim III: 1160 no: 30 dan 1525 dan
lafadz ini baginya, Fathul Bari IV: 349 no: 2135, ‘Aunul Ma’bud IX: 393
no:3480, Nasa’i VII: 286 dan Tirmidzi II: 379 no: 1309).
Dari Thawas dari Ibnu Abas ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa membeli makanan, maka janganlah menjualnya hingga ia manakarnya.” Kemudian
saya (Thawas) berkata kepada Ibnu Abas, “Mengapa?” Jawabnya, “Tidakkah
engkau melihat orang-orang membeli dengan emas, sedangkan makanan yang
dibeli itu tertangguhkan.” (Muttafaqun ‘alaih: Muslim III: 1160 no: 31
dan 1525 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari IV: 347 no: 2132 dan ‘Aunul
Ma’bud IX: 392 no: 3479).
8. Jual Beli Atas Pembelian Saudara
Dari Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah sebagian di antara kamu membeli atas pembelian sebagaian yang lain.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 373 no: 2165, Muslim III: 1154 no:1412, dan Ibnu Majah II: 333 no: 1271).
Dari abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah seseorang Muslim menawar atas tawaran saudaranya.” (Shahih: Irwa’ul Ghalil no: 1298, dan Muslim III: 1154 no: 1515).
9. Jual Beli secara ‘Inah.
Yang dimaksud jual beli secara ‘inah ialah seseorang menjual
sesuatu kepada orang lain dengan harga bertempo, lalu sesuatu itu
diserahkan kepada pihak pembeli, kemudian penjual itu membeli kembali
barangnya tadi secara kontan sebelum harganya diterima, dengan harga
yang lebih rendah daripada harga penjualnya tadi.
Dari Ibnu Umar ra, bahwa Nabi saw bersabda, “Apabila kamu berjual beli secara ‘inah dan 'memegangi ekor-ekor sapi' [kinayah/kiasan sibuk dengan urusan peternakan/keduniaan] dan
puas dengan pertanian serta meninggalkan jihad, maka Allah akan
menguasakan atas kamu kehinaan, dia tidak akan mencabut hingga kamu
kembali kepada agamamu.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:423 dan “Aunul Ma’bud IX:335 no:3445).
10. Jual Beli Barang Secara Taqsith (Kredit atau dengan penambahan harga)
Jual beli bertempo dengan harga lebih mahal daripada harga kontan atau cash dewasa ini menjamur di mana-mana. Praktek jual beli model ini dikenal dengan sebutan bai’ bittaqsith
(jual beli secara kredit), yaitu sebagaimana yang sudah dimaklumi yaitu
menjual barang secara kredit dengan harga lebih tinggi daripada harga cash
sebagai imbalan bagi pelunasannya yang bertempo ini. Sebagai misal, ada
barang dijual secara kontan dengan harga seribu Pound, lalu secara taqsith seribu dua ratus Pound. Maka jual beli ini termasuk jual beli yang dilarang.
Dari Abu Huairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa menjual dua penjualan dalam satu penjualan maka baginya yang paling ringan di antara keduanya atau menjadi riba.”
(Hasan: Shahihul Jami’ no: 6116, ‘Aunul Ma’bud no: 3444, untuk lebih
jelasnya lihat as-Silsilah Ash-Shahihah oleh Syaikh al-Albani no: 2326
dan kitab al-Qaulu al-Fashl Fi Bai’il Ajali oleh Syaikh Abdurrahman
Abdul Khaliq).
Namun, menurut jumhur ulama jual beli barang secara kredit
diperbolehkan. Hanya sebagian kecil ulama yang tidak membolehkan,
seperti yang menulis buku ini dan Syaikh Nasiruddin Al-Albani. Wallahu
A'lam.
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 655-662.