Jumat, 30 Maret 2012

Syarat Dan Kaidah Berdakwah kepada Aqidah Salafush Shalih Ahlus Sunnah Wal Jama'ah
Ketahuilah wahai saudaraku seiman, bahwa dakwah kepada aqidah Salafush Shalih tidak akan teralisasi kecuali dengan tiga syarat :


Syarat Dan Kaidah Berdakwah kepada Aqidah Salafush Shalih Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Ketahuilah wahai saudaraku seiman, bahwa dakwah kepada aqidah Salafush Shalih tidak akan teralisasi kecuali dengan tiga syarat :
Pertama : Aqidah yang benar
Selamat aqidahnya. Maksudnya, hendaklah kita ber’aqidah sebagaimana aqidah salaf tentang tauhid Rubuwiyah, Uluhiyyah, Asma’ dan Shifat, serta semua yang berkaitan dengan masalah aqidah dan keimanan.
Kedua : Manhaj yang benar
Yaitu memahami al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih, mengikuti prinsip dan kaidah yang telah ditetapkan.
Ketiga : Pengalaman yang benar
Seorang yang berdakwah, mengajak ummat kepada Islam yang benar, maka ia harus beramal dengan benar yaitu beramal semata-mata ikhlas karena Allah dan ittiba’(mengikuti) contoh Rasulullah saw, tidak mengadakan bid’ah baik dalam I’tiqad (keyakinan), perbuatan atau perkataan.
Sesungguhnya dakwah ke jalan Allah Ta’ala merupakan amal yang paling mulia dan ibadah yang paling tinggi serta merupakan kekhususan dari para utusan Allah swt dan tugas dari para wali (Allah) dan orang-orang yang shalih yang paling istimewa. Allah Ta’ala berfirman :
“Siapakah yang paling baik perkataanya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata : “Sesungguhnya saya termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Fushshilat :33).
Rasulullah saw mengajarkan kepada kita tentang bagaimana seharusnya kita mengemban dakwah ini kepada manusia, bagaimana metode menyampaikannya. Di dalam sejarah peri kehidupan beliau saw banyak pelajaran yang dapat kita ambil bagi orang yang menghendakinya.

Maka wajiblah bagi para juru dakwah dalam menyerukan aqidah Salaf agar mengikuti manhaj Nabi saw dalam berdakwah. Tidak diragukan lagi bahwa didalam manhaj beliau saw terdapat keterangan dan penjelasan yang benar tentang ushub (metode) berdakwah kepada Allah, sehingga mereka tidak membutuhkan lagi metode-metode bid’ah yang diada-adakan oleh sebagian manusia. Yang menyeslisihi manhaj dan peri kehidupan beliau saw.
Oleh karena itu, wajib bagi para juru dakwah untuk menyeru ke jalan Allah Ta’ala seperti yang telah dilakukan generasi Salafush Shalih dengan memperhatikan perbedaan waktu dan tempat.
Berangkat dari pemahaman yang benar ini, maka saya berusaha untuk menyebutkan sebagian kaidah dan landasan bagi para juru dakwah, dengan harapan semoga hal ini bermanfaat dalam perbaikan ummat yang kita idamkan :
 
Kaidah dan Landasan para juru Dakwah
1. Ketahuilah bahwa dakwah kepada Allah Ta’ala itu merupakan suatu jalan keselamatan baik di dunia maupun di akhirat. “Sungguh seseorang yang diberikan hidayat oleh Allah melalui jalan kamu hal itu lebih baik bagimu daripada unta yang merah (pilihan).” (Mutafaq ‘alaihi,) (Sebagaimana hadits yang diriwayatan oleh al-Bukhari no.2942 dan Muslim no. 2406 (Syarah Muslim lin Nawawi (XV/179), cet. Daar Ibnu al-Haitsam) dari Sahabat Sahl bin Sa’ad, dengan lafazh: “Maka demi Allah, sungguh seseorang yang diberikan hidayah oleh Allah melalui dirimu, hal itu lebih baik daripada unta yang merah (harta yang paling berharga) bagimu”) Pahala akan diperoleh hanya dnegan sekedar berdakwah dan tidak terkait dengan respon (obyek dakwah). Juru dakwa tidak dituntut untuk mereaisasikan kemenangan agama Islam karena hal ini adalah urusan Allah dan berada di tangan-Nya. Akan tetapi bagi juru dakwah dituntut untuk mencurahkan kemampuannya dalam berdakwah.
Bagi juru dakwah memperisapkan diri merupakan syarat. Pertolongan Allah merupakan janji. Sedang dakwah merupakan salah satu bentuk dari jihad, terdapat titik temu antara berdakwah dan jihad dalam tujuan dan hasil.

2.Menegaskan dan memperdalam manhaj Salafush Shalih yang tertuang dalam manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang tekenal dengan wasathiyah (pertengahan), syumulliyah (universalitas), I’tidal (moderat) dan jauh di ifrath (berlebihan) dan tafrith (melalaikan).
Landasannya adalah ilmu syar’I yang konsisten terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah yang shalih. Landasan inilah yang memelihara dari ketergelinciran dengan anugerah dari Allah dan memberikan cahaya bagi orang yang bertekad bulat untuk berjalan di atas jalan para Nabi.

3.Berupaya untuk mewujudkan jama’atul Muslimin (jama’ah kaum Muslimin) dan menyatukan kalimat mereka diatas kebenaran, yang bersumber dari manhaj yang menyatakan : “Kalimatut tauhid (Laa Ilaaha Illallaah) merupakan pokok untuk menyatukan brisan.” Dengan menjauhkan diri dari segala sesuatu yang dapat memecah belah kelompok-kelompok Islam pada saat ini seperti tahazzub (membuat partai-partai) yang tercela, yang mencerai beraikan barisan kaum Muslimin bahkan menjauhkan antara hati mereka.
Pemahaman yang benar bagi setiap jama’ah dakwa kepada Allah adalah : Suatu jama’ah dari kaum Muslimin tidak dapta disebut jama’ah kaum Muslimin

4.Loyalitas itu wajib untuk agama bukan untuk para tokoh; karena kebenaran akan kekal sedang para tokoh akan wafat. Kenalilah kebenaran itu niscaya kamu akan mengenal penganutnya.

5.Menyeru untuk saling tolong menolong dan (menyeru) kepada segala sesuatu yang dapat mewujudkannya. Menjahi dari khilaf (perselisihan) dan dari segala sesuatu yang dapat menyebabkan khilaf tersebut. Ohendaknya satu sama lain harus tolong menolong dan nasehat menasehati dalam hal yang kita perselisihkan selama hal tersebut dalam masalah khilafiyah dengan tanpa saling membenci.
Prinsip yang harus ditegakkan diantara kelompok-kelompok Islam adalah : saling bekerja sama dan bersatu. Jika hal tersebut tidak dapat diwujudkan, maka hendaknya saling hidup damai berdampingan; kalau itupun tidak, maka yang keempat adalah kebinasaan,

6.Tidak fanatik kepada jama’ah yang dianutnya. Bersikap menyambut apapun upaya yang terpuji yang telah diberikan oleh orang lain, selama sesuai dengan syari’at lagi jauh dari ifrath dan tarfith.

7. Perselisihan dalam masalah firi’ (cabang-cabang) syari’ah menuntut sikap lapang dada dan dialog, bukan permusuhan dan pembunuhan.

8.Melakukan introspeksi, koreksi yang kontinyu dan evalusi yang berkesinambungan.

9. Belajar adab berselisih pendapat, memperdalam dasar-dasar diskusi dan menyatakan bahwa kedua-duanya adalah penting dan perlu seharusnya dimiliki sarananya.

10. Jauh dari sikap memvonis secara umum dan berhati-hati dalam masalah ini serta tidak adil dalam menghukumi setiap pribadi.
Termasuk keadilan adalah menghukumi berdasarkan makna-makna (yang tersirat) bukan yang tersurat.

11. Membedakan antara tujuan dan sarana; misalkan dakwah adalah tujuan, sedangkan pergerakan, jama’ah dan markas (Islamic Center) dan lain-lain merupakan sarana.

12.Teguh dalam tujuan fleksibel dalam sarana berdakwah sesuai yang diperbolehkan oleh syari’at.

13. Memperhatikan masalah prioritas dan menyusun segala sesuatu secara berurutan sesuai dengan kepentingannya. Jika perlu ada sesuatu masalah yang sekunder, maka harus memperhatikan waktu, tempat dan kondisi yang tepat.

14.Tukar-menukar pengalaman diantara para juru dakwah adalah hal yang penting an membangun diatas pengalaman orang yang mendahului. Seorang juru dakwah hendaknya jangan memulai dair kosong (nol). Bukanlah dia orang pertama yang tampil berkhidmah kepada agama ini dan juga  bukan orang yang terakhir. Karena sekali-kali tidak akan ada orang yang tidak perlu nasehat dan petunjuk; atau tidak akan ada orang yang memonopoli seluruh kebenaran dan sebaliknya.

15.Menghormati para ulama ummat yang dikenal dengan konsistensinya terhadap as-Sunnah dan ‘aqidah yang benar, mengambil ilmu darinya, mengormatinya, tidak bersikap sombong padanya, menjaga kehormatannya, tidak meragukan niat baiknya, tidak fanatik kepadanya dan tidak menuduh mereka. Karena setiap orang alim ada benar dan salahnya. Kealahan dari orang laim ter sebut ditolak, tanpa mengurangi keutamaan dan kdudukannya selama dia seorang mujtahid.

16.Berbaik sangka kepada kaum muslimin dan membawa perkataannya kepada pengertian yang terbaik serta menuntuk cacat mereka, tanpa melalaikan untuk memberikan keterangan kepada orang yang bersangkutan.

17.Jika kebaikan seseorang lebih banyak, maka tidak disebut kejelekannya kecuali kalau ada maslahatnya. Jika kejelekannya lebih banyak, maka kebaikannya tidak disebut, karena takut menjadikan rancu perkaranya bagi orang awam.

18.Menggunakan kata-kata yang syar’I karena lebih tepat dan sesuai, dan menjauhi kata-kata asing,  dan pelik seperti : musyawarah bukan demokrasi.

19.Sikap yang benar atas madzhab-madzhab fiqih : bahwa ia merupakan kekayaan fiqih yang agung, wajib bagi kita mempelajarinya, mengambil manfaat darinya dan tidak fanatik serta tidak menolaknya secara keseluruhan. Kit ahendaknya menjauhi pendapat yang lemah dan mengambil yang haq dan benar menurut tuntunan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih.

20.Menetapkan sikap yang benar terhadap dunia bara dan peradabannya, yaitu dengan mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan empiris mereka sesuai dengan kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan agama kita yang agung ini.

21.Mengakui urgensi musyawarah dalam berdakwah dan keharusan juru dakwah mempelajari tentang fiqih musyawarah.

22.Suri tauladan yang baik. Seorang juru dakwah merupakan cerminan dan contoh hidup dalam misi dakwahannya.

23.Mengikuti metode hikmah dan nasehat yang baik serta menjadikan firman Allah :
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik ….” (An-Nahl : 125)
sebagai neraca dalam berdakwah dan hikmah untuk diikuti.

24.Berhias diri dengan kesabaran, karena itu merupakan sifat dari para Nabi dan utusan Allah serta penunjang keberhasilan dalam dakwahnya.

25. Jauh dari tasyaddud (mempersulit) dan berhati-hati dari penyakit tasyaddud dan hasilnya yang negatif. Berbuat kemudahan dan lemah lembut dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh syari’at.

26.Seorang muslim selalu mencari kebenaranl dan k eberanian dalam mengatakan kebenaran sangat dibutuhkan dalam berdakwah. Jika kamu lemah untuk mengatakan yang benar maka janganlah mengatakan yang bathil.

27.Berhati-hati terhadap futur (patah semangat) dan hasilnya yang negatif serta tidak lalai dalam mempelajari sebab dan solusinya.

28.Waspada terhadap segala isu (kabar angin) dan menyebarluaskannya serta hal-hal negatif yang ditimbulkannya pada masyarakat Islam.

29.Barometer keistimewaan seseorang adalah takwa dan amal shalih; dan mengenyampingkan segala fanatisme jahiliyah seperti fantisme daerah, keluarga, kelompok maupun jama’ah.

30.Manhaj (metode) yang afdhal dalam berdakwah adalah memulai dengan mengemukakan hakikat Islam yang manhajnya. Bukan mendatangkan syubuhat lalu membatahnya. Kemudian memberikan kepada manusia neraca kebenaran, mengajak mereka pada pokok-pokok agama dan berbicara kepada mereka menurut kemampuan akal pikir mereka. Mengetahui celah untuk memasuki jiwa mereka merupakan pintu masuk untuk memberikan hidayah kepada mereka.

31.Para juru dakwah dan pergerakan Islam hendaknya senantiasa menjaga hubungan dengan Allah Ta’ala, mempersembahkan upaya manusiawi, meminta pertolongan kepada Allah Ta’ala dan meyakini bahwa Allah-lah yang membimbing dan mengarahkan perjalanan dakwah serta Dialah yang akan melimpahkan taufik bagi para da’i. sesungguhnya agama dan segala urusan ini adalah milik Allah Ta’ala.

Itulah beberapa kaidah dan manfaat yang merupakan buah pikiran dari pengalaman kebanyakan para ulama dan juru dakwah.
Hendaknya kita ketahui dengan yakin bahwa para juru dakwah seandainya mereka mengerti kaidah-kaidah (aturan-aturan) ini dan mengamalkannya, pasti mereka akan mendapatkan kebaikan yang banyak dalam perjalanan dakwah. 
 Hendaknya seluruh juru dakwah mengetahui bahwa tidak ada keberhsailan dalam dakwahnya kecuali dengan menjalin hubungan dengan Allah Ta’ala, bertawakkal kepada-Nya dalam segala urusan, memohon Taufiq-Nya, niat yang ikhlash, bersih dari keinginan hawa nafsu dan menjadikan segala perkara hanya milik Allah Ta’ala.

Sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama'ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama'ah), terj. Farid bin Muhammad Bathathy (Pustaka Imam Syafi'i .