Rabu, 11 April 2012

Beriman kepada Kewajiban Menghormati Imam-Imam Islam

Dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi
Orang Muslim juga beriman kepada kewajiban hormat kepada imam-imam Islam, sopan dan santun terhadap mereka. Mereka adalah menara-menara petunjuk, seperti para qari', fuqaha', ahli hadits, dan para ahli tafsir dari generasi tabi'in, dan generasi pengikut tabi'in Rahimahumullah.

Terhadap imam-imam Islam yaitu para qari', pakar hadits, dan pakar tafsir, maka orang Muslim:
  1. Mencintai mereka, memintakan rahmat, ampunan untuk mereka, dan mengakui keutamaan mereka, karena mereka disebut di dalam firman Allah Ta'ala, "Dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha terhadap mereka, dan mereka ridha terhadap-Nya." (At-Taubah: 100).

    Dalam hadits nabawi disebutkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Yang paling baik di antara kalian adalah generasiku, kemudian orang-orang sesudah mereka, kemudian orang-orang sesudah mereka." (Muttafaq Alaih).

    Mayoritas besar para qari', pakar hadits, fuqaha', dan pakar tafsir berasal dari ketiga generasi tersebut yang kebaikannya diakui Rasulullah saw. Allah Ta'ala memuji orang-orang yang memintakan ampunan untuk orang-orang yang lebih dahulu beriman daripada mereka dengan firman-Nya, "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami." (Al-Hasyr: 10). Dengan doa tersebut, ia memintakan ampunan bagi seluruh kaum Mukminin, dan kaum Mukminah.
  2. Tidak menyebutkan kecuali kebaikan mereka, tidak mencaci ucapan atau pendapat mereka, dan mengetahui bahwa mereka adalah para mujtahid dan mukhlis. Kemudian ia santun ketika menyebut nama mereka, dan mendahulukan pendapat mereka daripada pendapat ulama-ulama, fuqaha', ahli tafsir, dan ahli hadits sesudah mereka, dan tidak meninggalkan pendapat mereka kecuali karena firman Allah Ta'ala, sabda Rasulullah saw., atau pendapat sahabat-sahabat nabi.
  3. Apa saja yang dibukukan oleh empat imam: Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Ahmad, dan Imam Abu Hanifah, dan apa yang mereka katakan dalam masalah-masalah agama, fiqh, dan syariat itu bersumber dari Kitabullah, dan Sunnah Rasul-Nya. Mereka tidak memahami kecuali dari kedua sumber tersebut, tidak mengeluarkan hukum kecuali dari keduanya, dan tidak membuat qiyas kecuali berdasarkan keduanya jika mereka tidak mendapatkan nash tekstual dari keduanya, atau isyarat di keduanya.
  4. Berpendapat bahwa mengambil apa yang ditulis salah seorang dari imam dalam masalah-masalah fiqh, dan agama adalah diperbolehkan, dan mengamalkannya berarti mengamalkan syari'at Allah Azza wa Jalla selagi tidak berbenturan dengan nash yang tegas dan shahih dalam Kitabullah, atau Sunnah Rasul-Nya. Ia tidak boleh meninggalkan firman Allah Ta'ala atau sabda Rasul-Nya karena pendapat salah seorang dari makhluk-Nya, apa pun alasannya, karena Allah Ta'ala berfirman:

    • "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya." (Al-Hujurat: 1).
    • "Apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah." (Al-Hasyr: 7).
    • "Dan tidaklah patut bagi laki-laki Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan Mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketepatan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka." (Al-Ahzab : 36).

    Karena Rasulullah saw. bersabda:

    • "Barangsiapa mengamalkan sesuatu yang tidak kami perintahkan, maka tertolak." (Muttafaq Alaih).
    • "Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, salah seorang dari kalian tidak beriman hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa." (Diriwayatkan An-Nawawi dan ia berkata bahwa hadits ini hasan shahih).
  5. Berpendapat bahwa mereka adalah manusia biasa yang benar dan salah. Bisa jadi salah seorang dari mereka salah dalam salah satu masalah tanpa disengaja, namun karena lalai, atau lupa, atau tidak menguasai. Oleh karena itu, orang Muslim tidak fanatik terhadap pendapat salah seorang dari mereka, dan meninggalkan pendapat lainnya. Sikap yang benar, hendaklah ia mengambil pendapat salah seorang dari mereka, dan tidak menolak pendapat mereka, kecuali karena firman Allah Ta'ala dan sabda Rasul-Nya.
  6. Memaafkan mereka di sebagian masalah-masalah furu' yang mereka perselisihkan, dan berpendapat bahwa perbedaan pendapat mereka terjadi tidak karena mereka bodoh, atau karena mereka fanatik terhadap pendapatnya. Penyebabnya, bisa jadi karena mukhalif (lawan pendapat) tidak mendapatkan salah satu hadits, atau ia berpendapat bahwa hadits yang tidak ia ambil tersebut telah di-nasakh-(dihapus), atau hadits tersebut bertentangan dengan hadits lain, kemudian ia memilih hadits terakhir. Atau pemahamannya terhadap isi hadits tersebut berbeda dengan pemahaman ulama lainnya sebab tidak ada salahnya terjadi perbedaan pemahaman pada salah satu hadits. Kemudian, setiap orang dari mereka memegang pemahaman pribadinya.

    Contohnya, pemahaman Imam Syafi'i Rahimahullah tentang batalnya wudhu seseorang karena menyentuh perempuan secara mutlak berdasarkan firman Allah Ta'ala, "Atau kalian menyentuh wanita-wanita." Imam Syafi'i memahami, bahwa yang dimaksud dengan menyentuh pada ayat tersebut ialah menyentuh biasa.

    Ulama lain berpendapat, bahwa seseorang tidak wajib mengulang wudlunya hanya karena menyentuh perempuan. Karena, ia memahami bahwa yang dimaksud dengan menyentuh pada ayat di atas ialah hubungan seksual. Jadi, mereka tidak mewajibkan pengulangan wudhu hanya karena menyentuh perempuan, tapi harus ada sebab lain, misalnya menyentuh wanita dengan sengaja, atau adanya kepuasan dengan menyentuh perempuan.

    Mungkin ada yang bertanya, "Kenapa Imam Syafi'i tidak membatalkan pemahamannya, agar pemahamannya sama dengan pemahaman imam-imam lainnya, dan bisa menghilangkan perbedaan pendapat di tubuh umat?"

    Jawabnya, Imam Syafi'i yang telah memahami sesuatu dari Tuhannya tanpa ada keragauan di dalamnya tidak boleh meninggalkannya hanya karena pendapat imam lain. Jadinya, ia mengikuti pendapat manusia, dan meninggalkan pendapat Allah Ta'ala. Ini dosa terbesar di sisi Allah Ta'ala.

    Betul, jika pemahamannya terhadap suatu nash itu bertentangan dengan nash yang pasti dalam Kitabullah, atau Sunnah Rasul-Nya, ia wajib berpegang teguh kepada dalil Nash yang nyata, dan meninggalkan pemahamannya yang tidak berdasarkan kepada nash yang pasti atau nash yang nyata. Sebab, jika dalilnya itu qath'i (dogmatic), pasti tidak ada dua orang dari umat ini yang berbeda pendapat, apalagi para imam.
Sumber: Diadaptasi dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaajul Muslim, atau Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, terj. Fadhli Bahri (Darul Falah, 2002), hlm. 98-101.