Sabtu, 31 Maret 2012

Prinsip Kesebelas :Manhaj Ahlus Sunnah Dalam Bersikap dan Berakhlak
Dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari
Termasuk dari prinsip ‘aqidah Salafush Shalih, Ahlus Sunnah wal Jama’ah: Bahwa mereka memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar (amar ma’ruf wa nahi munkar). (Ada beberapa syarat dalam merubah kemunkaran, di antaranya:
1. Orang yang melarang dari perbuatan kemungkaran harus mengetahui terhadap apa yang dicegahnya.
2. Agar meneliti lebih lanjut (agar pasti) bahwa perbuatan ma’ruf telah ditinggalkan sedang kemungkaran dipraktekkan.
3. Tidak merubah kemungkaran dengan kemungkaran lain.
4. Hendaknya jangan menyebabkan berubahnya kemungkaran yang kecil kepada kemungkaran yang lebih besar).Mereka percaya bahwa kebaikan ummat ini akan senantiasa tetap ada dengan ciri khas ini (amar ma’ruf dan nahi munkar), bahkan ciri khas ini merupakan syi’ar Islam yang paling agung dan merupakan sebab terpeliharannya kesatuan dalam Islam.
Amar ma’ruf adalah kewajiban sesuai dengan kondisi, dan kemaslahatan dipertimbangkan dalam hal itu. Allah Ta’ala berfirman, “Kamu adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepad ayang ma’ruf, dan mencegah yang munkar, dan beriman kepada Allah ....”(Ali Imran:110)

Nabi saw bersabda, “Barangsiapa diantara kalian melihat suatu kemunkaran, maka hendaknya ia merubahnya dengan tangannya; jika ia tidak mampu maka dengan lisannya; dan jika ia tidak mampu pula maka dengan hatinya; yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)

Ahlus Sunnah wal Jama’ah mendahulukan dakwah dengan cara yang lembut, baik berupa perintah maupun larangan, dan menyeru dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Allah Ta’ala berfirman, “Serulah (manusia) kepada jalan rabb mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik ...” (An-Nahl : 125).
Mereka memandang wajibnya bersabar bersabar atas semua gangguan manusia dalam amar ma’ruf nahi munkar, berdasarkan firman Allah Ta’ala, “....... Suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungghnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (Luqman : 17).
Ahlus Sunnah, ketika menjalankan amar ma’ruf nahi dan nahi munkar merekapun konsisten dengan prinsip lain yaitu menjaga kesatuan jama’ah, menarik dan mempersatukan hati serta menjauhkan perselisihan dan perbedaan.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah : Memandang perlunya nasehat-nasehati bagi setiap muslim dan tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa. Nabi saw bersabda, “Agama itu adalah itu nasehat “Kami (para sahabat) bertanya : Untuk siapakah nasehat tersebut ? Beliau menjawab “ Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin  kaum Muslimin dan ummat manusia” (HR. Muslim) (HR. Muslim no.55, Abu Dawud no.4944, an-Nasa-i no.4199, 4200, dan Ahmad (IV/102-103) dari Sahabat Abu Ruqiyah Tamim bin ‘Aus ad-Daari Ditakhrij secara lengkap oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaa-ul Ghalil no.26.
Ahlus sunnah wal Jama’ah senantiasa menjaga untuk tetap menegakkan syiar-syiar Islam seperti mendirikan shalat Juma’at, shalat jama’ah, haji, jihad dan merayakan hari lebaran (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama para pemimpin yang baik maupun yang jahat, berbeda dengan ahlul bid’ah.
Mereka bergegas dalam mendirikan shalat yang fardhu dan pelaksanaanya tepat diawal waktunya dengan berjama’ah. Awal waktu shalat tentu lebih baik daripada akhirnya kecuali shalat ‘Isya’. Dan menyuruh agar khusyu’ dan thuma’ninah dalam shalat; berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” (Al-Mukminuun : 1-2).
Mereka saling menasehati untuk mendirikan shalat malam, karena ini dari petunjuk Nabi saw dan bahkan Allah Ta’ala menyuruh Nabi-Nya saw agar mendirikan shalat malam dan bersungguh-sungguh dalam ketaatan kepada-Nya.
Dari ‘Aisyah ra bahwa Nabi saw shalat malam sampai kedua telapak kaki beliau pecah-pecah, lalu ‘Aisyah bertanya : “Kenapa engkau lakukan ini wahai Rasulullah, sedang Allah telah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?” beliau menjawab, “Tidak bolehkan aku ingin menjadi seorang hamba yang bersyukur (kepada Allah)?” (HR. Al-Bukhari) (HR. Al-Bukhari no.4837 dan Muslim no.2820 dair ‘Aisyah..
Ahlus Sunnah wal Jama’ah tabah terhadap musibah, yaitu dengan bersabar ketika (mendapatkan) malapetaka, bersyukur ketika (mendapatkan) kenikmatan dan rela dengan pahitnya takdir. Allah Ta’ala berfirman, “... Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala tanpa batas.”(Az Zumar:10)
Nabi Saw bersabda, “Sesungguhnya besarnya pahala itu (tergantung) dengan besarnya musibah. Sesuhngguhnya jika Allah mencintai suatu kaum pasti menguji mereka. Barangsiapa yang ridho, maka (Allahpun) ridha kepadanya. Dan barangsiapa murka, maka (allahpun) murka kepadanya.” (Shahih Sunan at-Tirmidzi oleh Imam al-Albani) (HR. at Tirmidzi no.2396, Ibnu Majah no.4031 dari sahabat Anas bin Malik. Imam At.Tirmidzi berkata : “Hadits hasan gharib” Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih sunan at-Tirmidzi (II/286) dan Silsilatull Ahaadiitsish Shahiihah, Jilid I bagian I hal.276, no.146.
Ahlus Sunnah tidak mengharap dan tidak meminta musibah kepada Allah, karena mereka tidak tahu : Apakah mereka bisa tabah atau tidak? Akan tetapi jika mereka diuji, maka mereka bersabar. Nabi saw bersabda, “Jangalah kamu berharap untuk bertemu dengan musuh, tetapi memohonlah keselamatan kepada Allah! Jika kamu berhadapan dengan mereka, maka bersahabatlah!” (muttafaq’alaih)
Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak berputus asa dari rahmat Allah ketika mendapatkan bencana, karena Allah Ta’ala telah mengahramkan hal itu. Tetapi mereka berharap solusi yang segera datang dan pertolongan (Allah) yang pasti disaat turun bala’; karena mereka percaya dengan janji-Nya dan mengetahui bahwa setelah kesulitan pasti akan datang kemudahan. Mereka mencari sebab terjadi malapetaka tersebut pada dirinya sendiri, bahkan mereka berpandangan bahwa melapetaka dan musibah itu tidak akan menimpanya kecuali karena ulah tangannya sendiri. Mereka mengetahui bahwa pertolongan terkadang terlambat datangnya disebabkan perbuatan maksiat dan kelalaian dalam beri’ttiba’. Berdasarkan firman Allah, “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri …...” (Asy-Syura:30).
Dalam (menghadapi) cobaan dan pembelaan terhadap agama mereka tidak menggantungkan kepada sebab-sebab alami, tipu daya yang bersifat duniawi dan sunnah-sunnah kauniyyah, sebagaimana pula mereka tidak mengabaikan hal itu, sebelum itu mereka berpandang bahwa bertakwa kepada Allah Ta’ala dan istighfar dari dosa dan noda, bergantung kepada Allah dan bersyukur dikala gembira merupakan sebab yang penting dalam mempercepat tibanya kemudahan setelah kesusahan.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah takut dan cemas terhadap adzab karena kufur nikmat, oleh karena itu mereka termasuk manusia yang paling suka bersyukur dan memuji kepada Allah serta terus menerus bersyukur kepada setiap nikmat yang kecil maupun yang besar. Nabi saw bersabda, “Lihatlah kepada orang yang berada dibawahmu dan janganlah melihat kepada orang yang berada diatasmu; karena sesungguhnya hal itu lebih layak agar kamu tidak memandang rendah nikmat Allah atasmu.” (shahih Sunan at Tirmidzi, oleh al-Imam al Albani) (HR. Al-Bukhari no.490, Muslim no.2963 (9), at-Tirmidzi no.2513, dan Ibnu Majah no.4142 dari Sahabat Abu Hurairah.)
Ahlus Sunnah menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia dan perbuatan yang baik. Nabi saw bersabda, “Orang Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik budi pekertinya.” (Shahih Sunan at-Tirmidzi, oleh Imam al-Albani) (HR. at-Tirmidzi no.1162, Ahmad (II/250, 472), Abu Dawud no.4682 dan Al-Hakim (I/3), dari Sahabat Abu Hirairah. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiitsish Shahiihah no.284).
  Beliau juga bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling kucintai dan paling dekat tempat duduknya dariku di antara kalian pada hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya” (Shahih Sunan at-Tirmidzi, oleh Imam al Albani) (HR. At Tirmidzi (no.2018), ia berkata : Hadits hasan”. Dari sahabat Jabir ra Hadits ini ada beberapa syawahid, lihat Silsilatul Ahaadiitsish Shahiihah no.791.)
Sabdanya, “Tidak ada sesuatu yang diletakan di timbangan yang lebih berat daripada akhlak yang baik. Dan sesungguhnya orang yang berakhlak mulia pasti akan sampai pada drajat orang yang selalu puasa dan shalat.” (Shahih Sunan at Tirmidzi, oleh Imam al-Albani) (HR. at Tirmidzi no.2003 dari Sahabat Abu Darda’. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’ish Shaghiir no.5726.
Beberapa Akhlak Salafush Shalih Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
·        Ikhlas dalam berilmu dan beramal serta takut riya’. Allah Ta’ala berfirman :
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (Az-Zumar:3)
·        Mengagungkan hal-hal yang dilarang oleh Allah Ta’ala, ghirah (cemburu) jika larangan-larangan-Nya dilanggar, membela agama dan syariat-Nya dan banyak memuliakan hak-hak kaum Muslimin serta senang kebaikan untuk mereka. Allah Ta’ala berfirman, “Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (Al Hajj:32)
·        Berupaya meninggalkan nifaq, dimana penampilan lahir dan bathinnya sama dalam melakukan kebaikan, menganggap sedikit amalan yang mereka perbuat dan selalu mendahulukan amal akhirat daripada amal dunia.
·        Lunak hatinya, banyak menangis atas yang mereka lalaikan dalam hak-hak Allah Ta’ala (dengan demikian) mudah-mudahan Allah memberikan rahmat-Nya kepadanya. Banyak mengambil pelajaran dan memperhatikan dengan urusan kematian. Mereka menangis jika melihat jenazah atau mengingat mati dan sakaratul maut serta su’ul khatimah (akhir hayat yang jelak) sehingga meruntuhkah hati mereka)
·        Bertambah tawadhu’ setiap meningkat derajat kedetakannya kepada Allah Ta’ala.
·        Banyak beraubat, istighfar siang malam karen apersaksian mereka bahwa mereka tidak dapat selamat dari dosa dan noda walaupun dalam ketaatannya. Lalu mereka memohon ampunan dari kekurangannya, senantiasa merasa diawasi Allah dalam (segala hal) dan tidak ujub dalam amal perbuatannya serta benci akan ketenaran bahkan mereka selalu mlihat kunga dan lalai dalam ketaatan (keapda-Nya), apalagi kejelakannya.
·        Melaksanakan takwa kepada Allah dengan sangat cermat, tidak menganggap dirinya sebagai orang yang bertakwa. Mereka banyak takut kepada Allah Ta’ala.
·        Sangat takut dari su’ul khatimah, tidak lalai berdzikir kepada Allah Ta’ala. Dunia dimata mereka sesuatu hal yang rendah dan sangat menolaknya. Tidak banyak menaruh perhatian terhadap pembangunan rumah kecuali jika diperlakukan tanpa dihiasi (yang berlebihan).
Nabi saw  bersabda, “Demi Allah, tidaklah (kehidupan) dunia dibandingkan dengan (kehidupamn) akhirat melainkan seperti seseorang diantara kamu masukkan jarinya dalam laut; maka perhatikanlah apa yang dibawah kembali jari tersebut” (HR. Muslim). (HR. Muslim no.2858, at Tirmidzi no.2323 dan Ibnu Majah no. 4108 dari al-Mastaurid
·        Tidak ridha jika kesalahan terjadi pada agama maupun orang yang memeluknya, bahkan membantahnya dan mencari alasan bagi orang yang mengatakannya, jika orang tersebut bisa diterima alasannya. Banyak menutupi (aib) saudaranya sesama muslim, sering mengintrospeksi dirinya dalam hal wara’. Tidak senang menampakkan aib seseorang, menyibukkan diri dengan aibnya sendiri daripada aib orang lain, bersungguh-sungguh menutupi aib orang lain dan memegang rahasia. Tidak menyampaikan apa yang didengar tentang kehormatan seseorang, meninggalkan permusuhan terhadap orang. Banyak bersikap lembut dan tidak menghadapi seseorang dengan perilaku yang jelek. Jadi mereka tidak memusuhi seseorang pun. Nabi saw bersabda, “Tidak akan masuk surga tukang  fitnah” (HR. Bukhari) (HR. Al-Bukhari no.105 (169, 170), at Tirmidzi no.2026, Abu Dawud no.4871 dan Ahmad (V/382, 389, 392), dari Sahabat Hudzaifah. “Tidak akan masuk surga tukang adu domba.” (HR. Muslim no.105 (168) dan Ahmad (V/391, 396, 398, 406), dari Sahabat Hudzaifah.
·        Menutup pintu ghibah (penggunjingan) dalam majelisnya dan mereka menjaga lidahnya dari hal tersebut; agar majelisnya tidak menjadi majelis dosa. Allah Ta’ala berfirman, “…Dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya ….” (Al-Hujuraat :12).
·        Sangat pemalu, berbudi pekerti, berkasih sayang, tenang, berwibawa, sedikit bicara, sedikit tertawa, banyak diam, berbicara dengan hikmah untuk mempermudah orang  yang mencari (informasi dan lain-lain), tidak riang dengan suatu urusan duniawi. Yang demikian itu karena kesempurnaan akal mereka. Nabi saw bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam.” (Muttafaq’alaih) (Hr. Al-Bukhari no.6475, Muslim no.47 (74), at-Tirmidzi no.2500 dan Abu Dawud no.5154 dari Sahabat Abu Hurairah.)
Dan beliau juga bersabda, “Siapa yang (banyak) diam pasti selamat” (Shahih Sunan at-Tirmidzi no.2500 dan Abu Dawud no.5154 dari Sahabat Abu Hurairah).
·        Pemaaf kepada setiap orang yang mengganggunya baik dengan memukul, mengambil hartanya maupun melecehkan kehormatannya atau yang semisalnya. Allah Ta’ala berfirman, “… Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran:134).
·        Tidak lalai dalam memerangi iblis, bersungguh-sungguh untuk mengetahui tipu daya mereka. Tidak was-was saat wudhu’ shalat dan ibadah lainnya; karena semuanya itu (datangnya) dari syaitan.
·        Banyak shadaqah siang-malam dari segala sesuatu yang lebih dari yang keperluan mereka, secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Banyak menanyakan tentang keadaan teman-temannya. Yang demikian itu dengan tujuan untuk membantunya dari apa yang mereka perlakukan baik makanan, pakaian, harta, dan tidak berlebihan dalam hal yang halal bila mereka mendapatkannya.
·        Mencela kekikiran, banyak bermurah hati dan dermanwan, mengeluarkan sebagian hartanya, membantu saudaranya di saat berpergian maupun tidak. Karena dengan demikian akan terjadi (satu sama lain) saling bahu menbahu dalam membela agama, di mana hal itu merupakan maksud dan tujuan mereka. Mereka sangat senang berbuat kebaikan kepada saudaranya, saling menyenangkan orang lain dan mendahulukan saudarannya dalam hal itu daripada dirinya sendiri.
·        Menghormati tamu dan melayaninya dengan dilakukan sendiri kecuali kalau ada halangan. Kemudian mereka tidak berpandangan bahwa mereka telah membalas budi dan menjamunya dengan tinggal di rumahnya serta berhusnu dzhan (berbaik sangka) kepada tamu tersebut. Memenuhi undangan saudarannya kecuali kalau makanannya haram atau jika mengkhususkan undangan hanya untuk orang kaya tanpa mengundang orang miskin atau bila ditempat walimah ada suatu maksiat.
·        Sopan santun terhadap anak kecil, apalagi kepada orang dewasa, juga terhadap orang yang jauh (hubungan kerabatnya) apalagi kepada orang yang dekat, serta terhadap orang yang jahil apalagi kepada orang yang alim.
·        Mendamaikan perselisihan karena hal itu termasuk sebaik-baik pintu kebaikan bahkan puncaknya, dan dikarenakan pula : mendamaikan orang yang berselisih itu akan merusak strategi dan rencana syaitan yang tujuannya menciptakan permusuhan, kebencian di kalangan kaum Muslimin dan merusak hubungan diantara mereka.
·        Melarang dengki, iri hati, karena hal itu akan menimbulkan permusuhan, kebencian, kelemahan iman dan cinta dunia dan seisinya tanpa ada tujuan yang syar’’i.
·        Menyuruh berbakti dan berlaku baik kepada kedua orang tua.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya…” (Al-Ankabuut:8)
·        Memerintahkan agar berbuat baik kepada tetangga, belas kasihan sesama hamba Allah menghubungkan tali persaudaraan, menyebarkan salam, belas kasihan terhadap fakir miskin, anak yatim dan orang yang sedang bepergian.
·        Melarang sikap sombong, congkak, ujub, lalim, dan sombong terhadap orang lain tanpa alasan yang benar dan menyuruh selalu bersikap adil dalam segala sesuatu.
·        Tidak menyepelekan suatu kebaikan yang syari’at kita telah mengajurkan untuk melakukannya. Nabi saw bersabda, “Janganlah kamu meremehkan kebaikan sedikitpun, walaupun hanya dengan wajah yang berseri-seri ketika kamu bertemu suaramu.” (HR. Muslim) (HR. Muslim no.2626 (114) dan at-Tirmidzi no. 1833 dari Sahabat Abu Dzar al-Ghifari.
·        Melarang su’uzdan (buruk sangka), memata-matai dan mencari-cari kekurangan (aib) kaum Muslimin karena yang demikian itu akan merusak hubungan kemasyarakatan, memecah belah diantar asaudara, menimbulkan kerusakan dan mereka tidak marah untuk dirinya sendiri karena mereka memahami fiqih marah.
Allah Ta’ala berfirman, “… dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memafkan kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” ( Ali Imran:134)
dan lain-lainnya dari akhlak Nabi saw. (Dakwah kepada manhaj Salafush Shalih bertujuan untuk membangun generasi yang sesuai dengan generasi pertama, dimana mereka didik oleh tangan Rasulullah saw. Allah Ta’ala telah memuji Rasul-Nya dalam firman-Nya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”(Al-Qalam:4)
maksudnya bukanlah hanya sekedar sesuai dalam masalah ‘aqidah saja walaupun tentunya aqidah merupakan pokok yang pertama dan paling penting, akan tetapi maksudnya agar kita sesuai dengan Salafush Shalih dalam segala urusan agama kita yang agung ini. Karena manhaj salaf itulah yang kita seru manusia kepadanya. Bukan hanya sekedar pengetahuan dalam pikiran saja; akan tetapi hendaknya manhaj mereka mencakup (urusan) aqidah, konsep, sikap dan akhlak. Sangat disayangkan, kami dapatkan di zaman serba moderen ini bahwa urusan yang penting dari manhaj salaf tidak mendapatkan perhatian, dan tarbiyyah. Sedang Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya tidaklah aku diutus melainkan untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Al –Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no.273 (shahih al Adabul Mufrad no.207), Ahmad (II/381), dan al-Hakim (II/613), dari Abu Hurairah ra. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiitsih Shahihah no.45)
Maka salaf telah mencontoh Rasulullah saw, berakhlak sebagaimana akhlak Rasulullah dan menjalankan perintahnya. Keadaan mereka seperti yang difirmankan Allah, “Kamu adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia …” (Ali Imran:110).
Jika kita menghendaki keselamatan (dunia dan akhirat) maka kita hars (mengamalkan) seperti yang (diamalkan) Salafush Shalih ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in.
 
Sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama'ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama'ah)

Jumat, 30 Maret 2012

Syarat Dan Kaidah Berdakwah kepada Aqidah Salafush Shalih Ahlus Sunnah Wal Jama'ah
Ketahuilah wahai saudaraku seiman, bahwa dakwah kepada aqidah Salafush Shalih tidak akan teralisasi kecuali dengan tiga syarat :


Syarat Dan Kaidah Berdakwah kepada Aqidah Salafush Shalih Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Ketahuilah wahai saudaraku seiman, bahwa dakwah kepada aqidah Salafush Shalih tidak akan teralisasi kecuali dengan tiga syarat :
Pertama : Aqidah yang benar
Selamat aqidahnya. Maksudnya, hendaklah kita ber’aqidah sebagaimana aqidah salaf tentang tauhid Rubuwiyah, Uluhiyyah, Asma’ dan Shifat, serta semua yang berkaitan dengan masalah aqidah dan keimanan.
Kedua : Manhaj yang benar
Yaitu memahami al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih, mengikuti prinsip dan kaidah yang telah ditetapkan.
Ketiga : Pengalaman yang benar
Seorang yang berdakwah, mengajak ummat kepada Islam yang benar, maka ia harus beramal dengan benar yaitu beramal semata-mata ikhlas karena Allah dan ittiba’(mengikuti) contoh Rasulullah saw, tidak mengadakan bid’ah baik dalam I’tiqad (keyakinan), perbuatan atau perkataan.
Sesungguhnya dakwah ke jalan Allah Ta’ala merupakan amal yang paling mulia dan ibadah yang paling tinggi serta merupakan kekhususan dari para utusan Allah swt dan tugas dari para wali (Allah) dan orang-orang yang shalih yang paling istimewa. Allah Ta’ala berfirman :
“Siapakah yang paling baik perkataanya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata : “Sesungguhnya saya termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Fushshilat :33).
Rasulullah saw mengajarkan kepada kita tentang bagaimana seharusnya kita mengemban dakwah ini kepada manusia, bagaimana metode menyampaikannya. Di dalam sejarah peri kehidupan beliau saw banyak pelajaran yang dapat kita ambil bagi orang yang menghendakinya.

Maka wajiblah bagi para juru dakwah dalam menyerukan aqidah Salaf agar mengikuti manhaj Nabi saw dalam berdakwah. Tidak diragukan lagi bahwa didalam manhaj beliau saw terdapat keterangan dan penjelasan yang benar tentang ushub (metode) berdakwah kepada Allah, sehingga mereka tidak membutuhkan lagi metode-metode bid’ah yang diada-adakan oleh sebagian manusia. Yang menyeslisihi manhaj dan peri kehidupan beliau saw.
Oleh karena itu, wajib bagi para juru dakwah untuk menyeru ke jalan Allah Ta’ala seperti yang telah dilakukan generasi Salafush Shalih dengan memperhatikan perbedaan waktu dan tempat.
Berangkat dari pemahaman yang benar ini, maka saya berusaha untuk menyebutkan sebagian kaidah dan landasan bagi para juru dakwah, dengan harapan semoga hal ini bermanfaat dalam perbaikan ummat yang kita idamkan :
 
Kaidah dan Landasan para juru Dakwah
1. Ketahuilah bahwa dakwah kepada Allah Ta’ala itu merupakan suatu jalan keselamatan baik di dunia maupun di akhirat. “Sungguh seseorang yang diberikan hidayat oleh Allah melalui jalan kamu hal itu lebih baik bagimu daripada unta yang merah (pilihan).” (Mutafaq ‘alaihi,) (Sebagaimana hadits yang diriwayatan oleh al-Bukhari no.2942 dan Muslim no. 2406 (Syarah Muslim lin Nawawi (XV/179), cet. Daar Ibnu al-Haitsam) dari Sahabat Sahl bin Sa’ad, dengan lafazh: “Maka demi Allah, sungguh seseorang yang diberikan hidayah oleh Allah melalui dirimu, hal itu lebih baik daripada unta yang merah (harta yang paling berharga) bagimu”) Pahala akan diperoleh hanya dnegan sekedar berdakwah dan tidak terkait dengan respon (obyek dakwah). Juru dakwa tidak dituntut untuk mereaisasikan kemenangan agama Islam karena hal ini adalah urusan Allah dan berada di tangan-Nya. Akan tetapi bagi juru dakwah dituntut untuk mencurahkan kemampuannya dalam berdakwah.
Bagi juru dakwah memperisapkan diri merupakan syarat. Pertolongan Allah merupakan janji. Sedang dakwah merupakan salah satu bentuk dari jihad, terdapat titik temu antara berdakwah dan jihad dalam tujuan dan hasil.

2.Menegaskan dan memperdalam manhaj Salafush Shalih yang tertuang dalam manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang tekenal dengan wasathiyah (pertengahan), syumulliyah (universalitas), I’tidal (moderat) dan jauh di ifrath (berlebihan) dan tafrith (melalaikan).
Landasannya adalah ilmu syar’I yang konsisten terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah yang shalih. Landasan inilah yang memelihara dari ketergelinciran dengan anugerah dari Allah dan memberikan cahaya bagi orang yang bertekad bulat untuk berjalan di atas jalan para Nabi.

3.Berupaya untuk mewujudkan jama’atul Muslimin (jama’ah kaum Muslimin) dan menyatukan kalimat mereka diatas kebenaran, yang bersumber dari manhaj yang menyatakan : “Kalimatut tauhid (Laa Ilaaha Illallaah) merupakan pokok untuk menyatukan brisan.” Dengan menjauhkan diri dari segala sesuatu yang dapat memecah belah kelompok-kelompok Islam pada saat ini seperti tahazzub (membuat partai-partai) yang tercela, yang mencerai beraikan barisan kaum Muslimin bahkan menjauhkan antara hati mereka.
Pemahaman yang benar bagi setiap jama’ah dakwa kepada Allah adalah : Suatu jama’ah dari kaum Muslimin tidak dapta disebut jama’ah kaum Muslimin

4.Loyalitas itu wajib untuk agama bukan untuk para tokoh; karena kebenaran akan kekal sedang para tokoh akan wafat. Kenalilah kebenaran itu niscaya kamu akan mengenal penganutnya.

5.Menyeru untuk saling tolong menolong dan (menyeru) kepada segala sesuatu yang dapat mewujudkannya. Menjahi dari khilaf (perselisihan) dan dari segala sesuatu yang dapat menyebabkan khilaf tersebut. Ohendaknya satu sama lain harus tolong menolong dan nasehat menasehati dalam hal yang kita perselisihkan selama hal tersebut dalam masalah khilafiyah dengan tanpa saling membenci.
Prinsip yang harus ditegakkan diantara kelompok-kelompok Islam adalah : saling bekerja sama dan bersatu. Jika hal tersebut tidak dapat diwujudkan, maka hendaknya saling hidup damai berdampingan; kalau itupun tidak, maka yang keempat adalah kebinasaan,

6.Tidak fanatik kepada jama’ah yang dianutnya. Bersikap menyambut apapun upaya yang terpuji yang telah diberikan oleh orang lain, selama sesuai dengan syari’at lagi jauh dari ifrath dan tarfith.

7. Perselisihan dalam masalah firi’ (cabang-cabang) syari’ah menuntut sikap lapang dada dan dialog, bukan permusuhan dan pembunuhan.

8.Melakukan introspeksi, koreksi yang kontinyu dan evalusi yang berkesinambungan.

9. Belajar adab berselisih pendapat, memperdalam dasar-dasar diskusi dan menyatakan bahwa kedua-duanya adalah penting dan perlu seharusnya dimiliki sarananya.

10. Jauh dari sikap memvonis secara umum dan berhati-hati dalam masalah ini serta tidak adil dalam menghukumi setiap pribadi.
Termasuk keadilan adalah menghukumi berdasarkan makna-makna (yang tersirat) bukan yang tersurat.

11. Membedakan antara tujuan dan sarana; misalkan dakwah adalah tujuan, sedangkan pergerakan, jama’ah dan markas (Islamic Center) dan lain-lain merupakan sarana.

12.Teguh dalam tujuan fleksibel dalam sarana berdakwah sesuai yang diperbolehkan oleh syari’at.

13. Memperhatikan masalah prioritas dan menyusun segala sesuatu secara berurutan sesuai dengan kepentingannya. Jika perlu ada sesuatu masalah yang sekunder, maka harus memperhatikan waktu, tempat dan kondisi yang tepat.

14.Tukar-menukar pengalaman diantara para juru dakwah adalah hal yang penting an membangun diatas pengalaman orang yang mendahului. Seorang juru dakwah hendaknya jangan memulai dair kosong (nol). Bukanlah dia orang pertama yang tampil berkhidmah kepada agama ini dan juga  bukan orang yang terakhir. Karena sekali-kali tidak akan ada orang yang tidak perlu nasehat dan petunjuk; atau tidak akan ada orang yang memonopoli seluruh kebenaran dan sebaliknya.

15.Menghormati para ulama ummat yang dikenal dengan konsistensinya terhadap as-Sunnah dan ‘aqidah yang benar, mengambil ilmu darinya, mengormatinya, tidak bersikap sombong padanya, menjaga kehormatannya, tidak meragukan niat baiknya, tidak fanatik kepadanya dan tidak menuduh mereka. Karena setiap orang alim ada benar dan salahnya. Kealahan dari orang laim ter sebut ditolak, tanpa mengurangi keutamaan dan kdudukannya selama dia seorang mujtahid.

16.Berbaik sangka kepada kaum muslimin dan membawa perkataannya kepada pengertian yang terbaik serta menuntuk cacat mereka, tanpa melalaikan untuk memberikan keterangan kepada orang yang bersangkutan.

17.Jika kebaikan seseorang lebih banyak, maka tidak disebut kejelekannya kecuali kalau ada maslahatnya. Jika kejelekannya lebih banyak, maka kebaikannya tidak disebut, karena takut menjadikan rancu perkaranya bagi orang awam.

18.Menggunakan kata-kata yang syar’I karena lebih tepat dan sesuai, dan menjauhi kata-kata asing,  dan pelik seperti : musyawarah bukan demokrasi.

19.Sikap yang benar atas madzhab-madzhab fiqih : bahwa ia merupakan kekayaan fiqih yang agung, wajib bagi kita mempelajarinya, mengambil manfaat darinya dan tidak fanatik serta tidak menolaknya secara keseluruhan. Kit ahendaknya menjauhi pendapat yang lemah dan mengambil yang haq dan benar menurut tuntunan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih.

20.Menetapkan sikap yang benar terhadap dunia bara dan peradabannya, yaitu dengan mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan empiris mereka sesuai dengan kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan agama kita yang agung ini.

21.Mengakui urgensi musyawarah dalam berdakwah dan keharusan juru dakwah mempelajari tentang fiqih musyawarah.

22.Suri tauladan yang baik. Seorang juru dakwah merupakan cerminan dan contoh hidup dalam misi dakwahannya.

23.Mengikuti metode hikmah dan nasehat yang baik serta menjadikan firman Allah :
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik ….” (An-Nahl : 125)
sebagai neraca dalam berdakwah dan hikmah untuk diikuti.

24.Berhias diri dengan kesabaran, karena itu merupakan sifat dari para Nabi dan utusan Allah serta penunjang keberhasilan dalam dakwahnya.

25. Jauh dari tasyaddud (mempersulit) dan berhati-hati dari penyakit tasyaddud dan hasilnya yang negatif. Berbuat kemudahan dan lemah lembut dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh syari’at.

26.Seorang muslim selalu mencari kebenaranl dan k eberanian dalam mengatakan kebenaran sangat dibutuhkan dalam berdakwah. Jika kamu lemah untuk mengatakan yang benar maka janganlah mengatakan yang bathil.

27.Berhati-hati terhadap futur (patah semangat) dan hasilnya yang negatif serta tidak lalai dalam mempelajari sebab dan solusinya.

28.Waspada terhadap segala isu (kabar angin) dan menyebarluaskannya serta hal-hal negatif yang ditimbulkannya pada masyarakat Islam.

29.Barometer keistimewaan seseorang adalah takwa dan amal shalih; dan mengenyampingkan segala fanatisme jahiliyah seperti fantisme daerah, keluarga, kelompok maupun jama’ah.

30.Manhaj (metode) yang afdhal dalam berdakwah adalah memulai dengan mengemukakan hakikat Islam yang manhajnya. Bukan mendatangkan syubuhat lalu membatahnya. Kemudian memberikan kepada manusia neraca kebenaran, mengajak mereka pada pokok-pokok agama dan berbicara kepada mereka menurut kemampuan akal pikir mereka. Mengetahui celah untuk memasuki jiwa mereka merupakan pintu masuk untuk memberikan hidayah kepada mereka.

31.Para juru dakwah dan pergerakan Islam hendaknya senantiasa menjaga hubungan dengan Allah Ta’ala, mempersembahkan upaya manusiawi, meminta pertolongan kepada Allah Ta’ala dan meyakini bahwa Allah-lah yang membimbing dan mengarahkan perjalanan dakwah serta Dialah yang akan melimpahkan taufik bagi para da’i. sesungguhnya agama dan segala urusan ini adalah milik Allah Ta’ala.

Itulah beberapa kaidah dan manfaat yang merupakan buah pikiran dari pengalaman kebanyakan para ulama dan juru dakwah.
Hendaknya kita ketahui dengan yakin bahwa para juru dakwah seandainya mereka mengerti kaidah-kaidah (aturan-aturan) ini dan mengamalkannya, pasti mereka akan mendapatkan kebaikan yang banyak dalam perjalanan dakwah. 
 Hendaknya seluruh juru dakwah mengetahui bahwa tidak ada keberhsailan dalam dakwahnya kecuali dengan menjalin hubungan dengan Allah Ta’ala, bertawakkal kepada-Nya dalam segala urusan, memohon Taufiq-Nya, niat yang ikhlash, bersih dari keinginan hawa nafsu dan menjadikan segala perkara hanya milik Allah Ta’ala.

Sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama'ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama'ah), terj. Farid bin Muhammad Bathathy (Pustaka Imam Syafi'i .

Rabu, 28 Maret 2012

ciri-ciri wanita sholehah
Tidak banyak syarat yang dikenakan oleh Islam untuk seseorang wanita untuk menerima gelar solehah, dan seterusnya menerima pahala syurga yang penuh kenikmatan dari Allah Subhanahuwata’ala
Mereka hanya perlu memenuhi 2 syarat saja yaitu:
1. Taat kepada Allah dan RasulNya
2. Taat kepada suami

Berikut ini antara lain perincian dari dua syarat di atas:
1. Taat kepada Allah dan RasulNya
Bagaimana yang dikatakan taat kepada Allah?
- Mencintai Allah s.w.t. dan Rasulullah s.a.w. melebihi dari segala-galanya.
- Wajib menutup aurat
- Tidak berhias dan berperangai seperti wanita jahiliah
- Tidak bermusafir atau bersama dengan lelaki dewasa kecuali ada bersamanya
- Sering membantu lelaki dalam perkara kebenaran, kebajikan dan taqwa
- Berbuat baik kepada ibu & bapa
- Sentiasa bersedekah baik dalam keadaan susah ataupun senang
- Tidak berkhalwat dengan lelaki dewasa
- Bersikap baik terhadap tetangga

2. Taat kepada suami
- Memelihara kewajipan terhadap suami
- Sentiasa menyenangkan suami
- Menjaga kehormatan diri dan harta suaminya selama suami tiada di rumah.
- Tidak cemberut di hadapan suami.
- Tidak menolak ajakan suami untuk tidur
- Tidak keluar tanpa izin suami.
- Tidak meninggikan suara melebihi suara suami
- Tidak membantah suaminya dalam kebenaran
- Tidak menerima tamu yang dibenci suaminya.
- Sentiasa memelihara diri, kebersihan fisik & kecantikannya serta rumah tangga.

Minggu, 25 Maret 2012

Balasan Bagi Orang Yang Amanah dan Jujur
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah menyebutkan seorang laki-laki dari Bani Israil yang meminta orang Bani Israil lainnya agar memberinya hutang sebesar 1000 dinar. Lalu orang yang menghutanginya berkata, "Datangkanlah beberapa saksi agar mereka menyaksikan hutangmu ini." Ia menjawab, "Cukuplah Allah sebagai saksi bagiku!" Orang itu berkata, "Datangkanlah seseorang yang menjaminmu!" Ia menjawab, "Cukuplah Allah yang menjaminku!" Orang yang akan menghutangipun lalu berkata, "Engkau benar!"
Maka uang itu diberikan kepadanya (untuk dibayar) pada waktu yang telah ditentukan. Setelah lama orang yang berhutang itupun berlayar untuk suatu keperluannya. Lalu ia mencari kapal yang bisa mengantarnya karena hutangnya telah jatuh tempo, tetapi ia tidak mendapatkan kapal tersebut.
Maka iapun kemudian mengambil sebilah kayu yang kemudian ia lubangi, dan dimasukkannya uang 1000 dinar di dalamnya beserta surat kepada pemiliknya. Lalu ia meratakan kembali kayu tersebut dan memperbaiki letaknya. Selanjutnya ia pergi ke laut seraya berkata, "Ya Allah, sungguh Engkau telah mengetahui bahwa aku meminjam uang kepada si fulan sebanyak 1000 dinar. Ia meminta kepadaku seorang penjamin maka aku katakan waktu itu, 'Cukuplah Allah sebagai penjamin.' Dan ia memintaku seorang saksi, maka aku katakan juga, 'Cukuplah Allah sebagai saksi.'
Kemudian iapun rela dengan uang yang aku pinjam itu. Sungguh aku telah berusaha keras mencari kapal untuk mengirimkan kepadanya uang yang telah aku pinjam karena telah tiba bagiku waktu untuk mengembalikannya, tetapi aku tidak mendapatkan kapal itu. Karena itu aku titipkan uang itu kepadaMu."
Lalu ia melemparnya ke laut dan pulang.
Adapun orang yang memberi hutang itu, maka ia keluar mencari kapal yang datang ke negerinya. Iapun keluar rumah untuk melihat-lihat barangkali ada kapal yang membawa titipan uang untuknya. Tetapi tiba-tiba ia menemukan sepotong kayu. Ia lalu mengambilnya untuk keperluan kayu bakar istrinya. Namun ketika ia membelah kayu tersebut ia mendapatkan uang berikut sepucuk surat.
Selang beberapa waktu datanglah orang yang berhutang sambil membawa uang 1000 dinar seraya berkata, "Demi Allah, aku terus berusaha untuk mendapatkan kapal agar bisa sampai kepadamu untuk mengantarkan uangmu, tetapi aku sama sekali tidak mendapatkan kapal sebelumnya kecuali yang aku tumpangi ini."
Orang yang menghutangi berkata, "Bukankah engkau telah mengirimkan uang itu melalui sesuatu?" Ia menjawab, "Memang aku telah memberitahukan kepadamu bahwa aku tidak mendapatkan kapal sebelum yang aku tumpangi sekarang ini"
Orang yang menghutanginya berkata, "Sesungguhnya Allah telah menunaikan apa yang engkau kirimkan kepadaku melalui kayu. Karena itu bawalah uang 1000 dinarmu kembali dengan keberuntungan." [1]
Pelajaran Yang Dapat Dipetik:
1. Diperbolehkan menentukan batasan membayar hutang dan kewajiban melunasinya pada waktunya.
2. Anjuran untuk senantiasa menyerahkan diri dan bertawakkal kepada Allah dalam segala urusan dan kondisi.
3. Anjuran untuk berdagang. Dan bahwasanya transaksi jual beli ini sudah dikenal umat sejak dahulu. Diperbolehkan meminjam uang (berhutang) untuk modal dagang jika memang ia yakin dapat membayar hutangnya.
4. Dibolehkan menceritakan kisah-kisah yang terjadi pada Bani Israil dengan maksud untuk mengambil pelajaran, nasehat dan dijadikan teladan.
5. Diperbolehkan melakukan transaksi di laut dan berlayar dengan kapal.
6. Anjuran untuk berperangai baik seperti: jujur, amanah, menepati janji, merasa takut kepada Allah dan merasa senantiasa berada dalam pengawasanNya.
7. Anjuran untuk mencatat hutang.
8. Anjuran untuk mendatangkan saksi dan meminta jaminan dalam hutang.
9. Anjuran untuk menghimpun modal dagang dari berbagai arah sekalipun sedikit jumlahnya.
10. Penetapan karamah para wali. Sebagaimana papan kayu yang berisi uang emas dapat mengapung di laut dan menuju suatu negeri sehingga diambil oleh orang yang menghutangi dan tidak jatuh ke tangan orang lain. Ini merupakan peristiwa aneh, yang terjadi bukan secara kebetulan.

Sabtu, 24 Maret 2012

WASIAT DAN PERTANYAAN PARA IMAM AHLUS SUNNAH TENTANG BERITTIBA

1. Muadz bin Jabal ra berkata, “Wahai manusia, raihlah ilmu sebelum ilmu tersebut diangkat! Ingatlah bahwa diangkatnya ilmu itu dengan wafatnya ahli ilmu. Hati-hatilah kamu terhadap bid’ah tanaththu’ (melampaui batas). Berpegang teguhlah pada urusan kamu yang terdahulu (berpegang teguhlah pada al-Qur’an dan as-Sunnah).” (Al-Bida’wan Nahyu ‘Anha oleh Ibnu Wadhdhah no.65)

2. Hudzaifah bin al-Yaman ra berkata, “Setiap ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh Sahabat Rasulullah saw sebagai ibadah, maka janganlah kamu lakukan! Karena generasi pertama itu tidak memberikan kesempatan kepada generasi berikutnya untuk berpendapat (dalam masalah agama). Bertakwalah kepada Allah wahai para qurra’ (ahlul qira’ah) dan ambillah jalan orang-orang sebelum kami!” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam kitabnya al-Ibaanah)

3. Abdullah bin Mas’ud ra berkata, “Barangsiapa mengikuti jejak (seseorang) maka ikutilah jejak orang-orang yang telah wafat, mereka adalah para Sahabat Muhammad saw. Mereka adalah sebaik-baik ummat ini, paling baik hatinya, paling dalam ilmunya dan paling sedikit berpura-pura. Mereka adalah suatu kaum yang telah dipilih Allah untuk menjadi sahabat Nabi-Nya saw dan menyebarkan agamanya, maka berusahalah untuk meniru akhlak dan cara mereka. Karena mereka telah berjalan diatas petunjuk yang lurus. (Dikeluarkan oleh al-Baghawi dalam kitab Syarhus Sunnah (I/214) dan Ibnu ‘Abdil Baar dalam kitabnya Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlih (II/947 no.1810), tahqiq Abul Asybal Samir az-Zuhairi.)

Dan juga beliau saw, berkata, “Hendaklah kalian mengikuti dan janganlah kalian berbuat bid’ah. Sungguh bagi kalian telah cukup, berpegang teguhlah pada urusan yang terdahulu (maksudnya al-Qur’an dan as-Sunnah)” (Diriwayatkan oleh ad-Darimi (I/69), al-Lalika –I dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (I/96 no.104), at-Thabrani fil Kabir no.8770, dan Ibnu Baththah dalam al-Ibaanah no.175).

4. ‘Abdullah bin ‘Umar ra berkata, “Senantiasa manusia berada diatas jalan (yang lurus) selama mereka mengikuti atsar” (Dikeluarkan oleh Imam al-Lalika-I dalam kitabnya Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.101.

Dan beliau juga berkata, “Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia mengaggapnya baik” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam al-Madkhal ila as-Sunan al-Kubra (I/180) no.191, Ibnu Baththah dalam al-Ibaanah no.205 dan al-Lalika-I dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah).

5. Sahabat yang mulia Abu Darda’ ra berkata, “Kamu tidak akan tersesat selama kamu mengikuti atsar.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam kitabnya al-Ibaanah no.232.

6. Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib ra berkata, “Seandainya agama itu (berdasarkan) pemikiran, maka pasti bagian bawah sepatu khuf lebih utama untuk diusap daripada bagian atasnya. Akan tetapi saya melihat Rasulullah saw mengusap bagian atasnya.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Kitab al-Mushannaf dan dengan lafazh yang hampir sama dikeluarkan oleh Abu Dawud no.162, ad-Daraquthni

7. Abdullah bin Amr bin Ash ra berkata, “Tidak ada suatu bid’ah yang dilakukan melainkan bid’ah tersebut semakin bertambah banyak. Dan tidak ada suatu sunnah yang dicabut melainkan sunnah tersebut bertambah jauh.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam kitabnya al-Ibaanah no.227 dan al-Lalika-I dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.128.)

8. Dari Abis bin Rabi’ah berkata : “Saya melihat Umar bin al-Khaththab ra mencium Hajar Aswad seraya berkata :“Sesungguhnya saya mengetahui bahwa kamu adalah sebuah batu yang tidak dapat memberi mudharat maupun manfaat. Senadainya saya tidak melihat Rasulullah saw meniummu pasti saya tidak menciummu.” (HR. al-Bukhari no.1597 dan Muslim no.1270 (248) dari Sahabat Umar bin al-Khaththab.)

9. Khalifah yang adil ‘Umar bin Abdul Aziz ra berkata, “Berhentilah kamu di mana para Sahabat berhenti (dalam memahami nash), karena mereka berhenti berdasarkan ilmu dan dengan penglihatan yang tajam mereka menahan (diri). Mereka lebih mampu untuk menyingkapnya dan lebih patut dengan keutamaan. Seandainya hal tersebut ada di dalamnya. Jika kamu katakan, ‘Terjadi (suatu bid’ah) setelah mereka. Maka tidak diada-adakan kecuali oleh orang yang menyelisihi petunjuknya dan membeci sunnah. Sungguh mereka telah menyebutkan dalam petunjuk itu apa yang melegakan (dada) dan mereka sudah membicarakannya dengan cukup. Maka apa yang diatas mereka, adalah orang yang melelahkan diri. Dan apa yang dibawahnya, adalah orang meremehkan. Sungguh ada suatu kaum yang meremehkan mereka, lalu mereka menjadi kasar. Dan ada pula yang melebihi batas mereka, maka mereka menjadi berlebih-lebihan. Sungguh para sahabat itu, diantara kedua jalan itu (sikap meremehkan dan berlebih-lebihan), tentu diatas petunjuk yang lurus.” (Disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya Lum’atul I’tiqadil Hadi Ila Sabilir Rasyad yang disyarah oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal.41 cet.Maktabah Adhwa-us Salaf, th. 1415 H.

10. Imam al-Auza’i ra berkata, “Hendaklah engakau berpegang dengan atsar orang pendahulu (Salaf) meskipun orang-orang menolakmu dan jauhkanlah dirimu dari pendapat para tokoh meskipun ia hiasi pendapatnya dengan perkataan yang mudah, sesungguhnya hal itu akan jelas sedang kamu berada diatas jalan yang lurus. (Dikeluarkan oleh al-Khatib dalam kitab Sarah Ashhabul Hadits. (Imam al-Ajurry dalam as-Syari’ah (I/445) no.127 dishahihkan oleh al-Albani dalam Mukhtashar al-Uluw lil mam adz-Dzahabi hal.138, Siyar A’laamin Nubalaa’ (VII/120) dan Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (II/1071) no.2077)

11. Ayub as-Sakhtiyani ra berkata, “Tidaklah Ahlul Bid’ah itu bertambah sungguh-sungguh (dalam bid’ahnya), melainkan semakin bertambah pula kejauhannya dari Allah” (Dikeluarkan oleh Ibnu Wadhdhah dalam al-Bida’wan Nahyu Anha no.70

12. Hasan bin Athiyyah ra berkata, “Tidaklah suatu kaum berbuat bid’ah dalam agamanya melainkan tercabut dari sunnah mereka seperti itu pula. (dikeluarkan oleh al-Lalika-I dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.129.)

13. Muhammad bin Sirin ra berkata, “Orang salaf pernah mengatakan : “Selama seseorang berada diatas atsar, maka pastilah dia diatas jalan (yang lurus). (Dikeluarkan oleh al-Lalika-I dalam Syarah Ushuul I’tiwaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.109 dan Ibnu Baththah dalam kitabnya al-Ibaanah no.241.

14. Sufyan ats-Tsauri ra berkata : “Perbuatan bid’ah lebih dicintai oleh iblis daripada kemaksiatan dan pelaku kemaksiatan masih mungkin dia untuk bertaubat dari kemaksiatannya sedangkan pelaku bid’ah sulit untuk bertaubat dari bid’ahnya”. (Dikeluarkan oleh al-Baghawi dalam kitab Syarhus Sunnah dan al-Lalika-I dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.238)

15. Abdullah bin al Mubarak ra berkata, “Hendaknya kamu bersandar pada atsar dan ambillah pendapat yang dapat menjelaskan hadits untukmu.” (Dikeluarkan oleh al-Bahawi dalam kitab sunan al-Kubra)

16. Imam asy-Syafi’i ra berkata, “Semua masalah yang telah saya katakan tetapi bertentangan dengan sunnah, maka saya rujuk saat hidupku dan setelah wafatku.” (Dikeluarkan oleh al Khatib dalam kitab al-Faqih wal Mutafaqqih dan tercantum juga dalam Manaaqib asy Syafi’i, (I/473) dan Tawali at-Tas’sis hal.93).

Rabi’ bin Sulaiman berkata : “Imam asy-Syafi’I pada suatu hari meriwayatkan hadits, lalu seseorang berkata kepada beliau : ‘Apakah kamu mengambil hadits ini wahai Abu ‘Abdillah?’ Beliau menjawab : “Bilamana saya meriwayatkan suatu hadits yang shahih dari Rasulullah saw lalu saya tidak mengambilnya, maka saya bersaksi di hadapan kalian bahwa akalku telah hilang” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam kitabnya al-Ibaanah dan tercantum juga dalam Adab asy-Syafi’I hal. 67, al-Manaaqib asy-Syafi’i, (I/474) dan Hilyah al-Auliya (IX/106).

17. Dari Nuh al Jaami’ berkata : Saya bertanya kepada Abu Hanifah ra : Apakah yang Anda katakan terhadap perkataan yang dibuat-buat oleh orang-orang, seperti A’radh dan Ajsam” beliau menjawab “Itu adalah perkataan orang-orang ahli filsafat. Berpegang teguhlah pada atsar dan jalan orang salaf. Dan waspadalah terhadap segala sesuatu yang diada-adakan, karena hal tersebut adalah bid’ah” (Dikeluarkan oleh al Khatib dalam kitab al-Faqih wal Mutafaqqih. Lihat manhaj Imam asy-Syafi’I fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/75) oleh Dr. Muhammad bin ‘Abdul Wahhab al-Aqill.)

18. Imam Malik bin Anas ra berkata, “Sunnah itu bagaikan bahtera Nabi Nuh. Barangsiapa mengendarainya niscaya dia selamat. Dan barangsiapa terlambat dari bahtera tersebut pasti dia tenggelam.”

Dan beliau juga berkata, “Seandainya ilmu kalam itu merupakan ilmu, niscaya para sahabat dan Tabi’in berbicara tentang hal itu sebagaimana mereka bicara tentang hukum dan syari’at, akan tetapi ilmu kalam itu bathil yang menujukkan kepada kebathilan.

Dari Ibnu Majisyuun, dia berkata : “Saya mendengar Malik berkata: “Barangsiapa berbuat suatu bid’ah dalam Islam lalu ia menganggapnya sebagai suatu ebaikan, berarti ia telah menyangka bahwa Muhammad saw telah berkhianat terhadap risalah. Karena llah telah berfirman: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu…” Maka apa-apa yang saat itu tidak merupakan agama, maka pada saat ini juga tidak merupakan agama”

19. Imam Ahmad bin Hanbal ra, Imam Ahlus Sunnah berkata :Pokok Sunnah menurut kami (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) adalah : Berpegang teguh pada apa yang dilakukan oleh para Sahabat Rasulullah saw dan mengikuti mereka serta meninggalkan bid’ah. Segala bid’ah itu adalah sesat.

20. Dari al-Hasan al-Bashri ra berkata : “Seandainya seseorang mendapatkan generasi Salaf yang pertama kemudian dia yang dibangkitkan (dari kuburnya) pada hari ini, dimana orang tersebut tidak mengenal tentang Islam dan beliau shalat saja “Kemudian berkata “Demi Allah, tidaklah yang demikian itu merupakan suatu bentuk keterasingan bagi setiap orang yang hidup dan dia tidak mengetahui tentang generasi Salafush Shalih, Lalu ia melihat orang ahlul bid’ah mengajak kepada bid’ahnya dan melihar orang ahli dunia menyeru kepada dunianya. Lalu orang (yang dalam keterasingan itu) dipelihara oleh Allah dari firnah tersebut. Allah jadikan hatinya rindu kepada Salaush Shalih itu, ia bertanya tentang halan mereka, menapaki jekak mereka, dan mengkuti jalan mereka, maka pasti Allah akan memberikan kepdanya pahala yang besar. Oleh karena itu, jadilah kalian seperti itu inya Allah.

21. Alangkah indahnya ungkapan orang seorang laim yang mengamalkan ilmunya yaitu al Fudhail bin ‘Iyadh ra berkata : “Ikutilah jalan-jalan kebenaran itu,, dan jangan hiraukan walaupun sedikit orang yang mengikutinya ! jauhkanlah dirimu dari jalan-jalan kesesatan dan janganlah terpesona dengan banyaknya orang yang menempuh jalan kebinasaan!”

22. Abdullah bin Umar ra berkata kepada seorang yang bertanya kepada beliau tentang suatu perkara, lalu orang tersebut berkata : “sesungguhnya ayahmu telah melarangnya. Lalu Abdullah menjawab :“Apakah perintah Rasulullah saw yang lebih berhak untuk diikuti ataukah perintah ayahku?”

Abdullah bin Umar ra Sahabat yang laing keras dalam menentang segala macam bid’ah dan beliau sangat senang dalam mengikuti as-Sunnah. Pada suatu saat beliau mendengar seseorang bersin dan berkata: “Alhamdulillah washaltu wasalmu ala Rasulillah”. Lalu bacalah shalawat Abdullah bin Umar :“Bukan demikian rasulullah saw mengajari kita, akan tetapi beliau bersabda: Jika salah satu diantara kamu bersin, maka pujilah Allah (dengan mengucapkan) : alhamdulillah, dan beliau tidak mengatakan : Lalu bacalah shalwat kepada Rasulullah!”

23. Abdullah bin Abbas ra berkata kepada orang yang menentang sunnah dengan ucapan Abu Bakar dan Umar ra., “Nyaris turun hujan batu dari langit atas kamu; saya berkata kepadamu: Rasulullah saw bersabda sedang kamu berkata (tapi) Abu Bakar dan Umar berkata.

Sungguh benar Abdullah bin Abbas saw dalam mensifati Ahlus Sunnah dimana beliau mengatakan : “Melihat kepada seorang dari Ahlus Sunnah, itu dapat mendorong kepada as-Sunnah dan mencegah dari bid’ah”.

24. Sufyan ats-Tsauri ra berkata : “Jika sampai kepadamu kabar tentang seseorang dibelahan tirumu bumi bahwa dia Ahlus Sunnah, maka kirimkanlah salam kepadanya; karena Ahlus Sunnah itu sedikit jumlahnya.”

25. Ayub as-Sakhtiyani ra berkata, “Sesungguhnya jika saya dikabari tentang kematian seorang dari Ahlus Sunnah, maka seakan-akan aku merasa kehilangan sebagian organ tubuhku.”

26. Ja’far bin Muhammad berkata : “Saya pernah mendengar Qutaibah ra berkata : ‘Jika kamu melihat orang yang mencintai Ahlus Hadits seperti : Yahya bin Said, Abdurrahman bin Madi, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih …. Dan lain-lain, maka dialah Ahlus Sunnah. Dan barang siapa menyelisihi mereka, maka ketahuilah sesungguhnya dia adalah mubtadi’ (Ahlul bid’ah).

27. Ibrahim an Nakha’i ra berkata : “Seandainya para sahabat Muhammad saw mengusap kuku, pasti saya tidak membasuhnya; untuk mencari keutamaan dalam mengikuti mereka”.

28. Abdullah bin Mubarak ra berkata : “Ketahuilah wahai saudaraku bahwa kematian seorang Muslim untuk bertemu Allah diatas sunnah pada hari ini merupakan suatu kehormatan, lalu (kita ucapkan) ; Innaa illahi Wainnaa Ilaihi Rajiun’ (sesungguhnya kita adalah milik Allah dan sesungguhnya kita akan kembali kepada-Nya), maka kepada Allah-lah kita mengadu atas kesepian diri kita, kepergian saudara, sedikitnya penolong dan munculnya bid’ah. Dan kepada Allah pulalah kita mengadu atas beratnya cobaan yang menimpa pada ummat ini berupa kepergian para ulama dan Ahlus Sunnah serta munculnya bid’ah.”

29. Al-Fudhail bin ‘Iyad ra berkata : “Sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba yang dengan mereka Dia menghidupkan negeri, mereka adalah Ashhabus Sunnah.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Lalika-i dalam kitabnya Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.51)

30. Alangkah benarnya perataan dan sebutan Imam asy-Syafi’I ra terhadap Ahlus Sunnah, seraya berkata : “Jika aku melihat seseorang dari ashhabhl haduts (ahli hadits), maka seakan-akan aku melihat seseorang dari Sahabat Rasulullah saw”

31.Imam Malik bin Anas ra telah meletakkan suatu kaidah yang agung yang meringkas semuayang telah kami sebutkan di atas dari ucapan para imam dalam ungkapannya : “Tidak akan dapat memperbaki generasi akhir dari ummat ini kecuali apa yang telah dapat memperbaiki generasi terdahulu. Maka apa yang pada saat itu bukan merpakan agama, demikian pula tidak dianggap agama pada hari ini.”

Itulah ucapan sebagian para Imam Salafush Shalih dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka adalah orang yang palingsuka memberikan nasehat kepada manusia, yang paling baik bagi ummatnya dan yang paling mengerti dengan kemaslahatan dan petunjuk bagi manusia. Dimana mereka itu berwasiat agar berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya saw, memperingatkan dari perkara yang diada-adakan dan bid’ah dan mengabarkan seperti Nabi saw mengajari mereka bahwa jalan keslamatan adalah dengan berpegang teguh pada sunnah Nabi saw dan petunjuknya..