Senin, 30 April 2012

Makna Al-Masyriq dan Al-Maghrib Bab 4 (Terakhir)
Makna Al-Masyriq dan Al-Maghrib (4-habis)
 ILUSTRASI
Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Sayang sekali, masa kejayaan Islam selama enam abad tidak bisa berlangsung lebih lama karena pusat-pusat kerajaan Islam terlalu jauh meninggalkan roh al-Islam.
Perpecahan dan bahkan perang saudara terjadi antara dinasti-dinasti Islam. Selain itu, mulai terjadi dekadensi moral di dalam masyarakat.

Perintah dan larangan ajaran Islam banyak dilanggar, sehingga tidak ada kekuatan dan otoritas untuk menegakkan kembali ajaran luhur itu karena figur kalangan atas tidak memberi contoh yang baik.

Apa yang terjadi pada masa jahiliyah kembali diadopsi anggota keluarga raja dan kalangan elite bangsa Arab, misalnya, tradisi harem (gundik-gundik keluarga raja) yang sudah pernah tidak kedengaran pada masa awal Islam, kembali marak lagi.

Menurut Fatimah Mernissi, seorang pakar woman studies, di antara seluruh raja yang pernah berdaulat di Dinasti Bani Abbasiyah, hanya dua orang yang lahir dari permaisuri sah, selebihnya berasal dari istri selir. Hal lain yang perlu dicatat ialah merosotnya aktivitas ilmu pengetahuan.

Pemikiran mu'tazilah yang menjunjung tinggi pikiran dan logika seolah-olah dipandang sebagai aliran sesat. Akibatnya, aktivitas pemikiran dan ilmu pengetahuan mandek. Kebetulan, setelah pemikiran mu'tazilah menurun, digantikan aktivitas tasawuf, yang lebih menekankan aspek rasa dan spiritualitas. Khurafat, bid'ah, pemikiran mistik, serta spekulatif berkembang cepat di dunia Islam.

Pandangan dunia (Islamic world view) berbalik dari periode-periode sebelumnya. Periode ini betul-betul memalukan bagi dunia Islam. Menurut teori politik Ibnu Khaldun, periode sejarah kerajaan dibagi ke dalam empat periode, yakni periode perintis, pembangun, penikmat, dan periode penghancur.

Periode penghancur ini terjadi pada abad 13. Cepat atau lambatnya siklus Ibnu Khaldun ini bergantung pada konsisten atau tidaknya para pelaku politik di dalam memerankan peran politiknya. Alquran sendiri meniscayakan perubahan itu, sebagaimana diisyaratkan dalam QS Ali Imran: 14, "Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)."

Alquran juga menegaskan bahwa yang mempunyai ajal itu bukan hanya manusia sebagai perorangan, melainkan juga semua masyarakat. Likulli ummatin 'ajal, setiap suatu komunitas itu mempunyai ajal. Dan dalam ayat lain juga dikatakan, "Apabila ajal tiba, tidak akan ditunda atau dipercepat."

Mungkinkah masa kejayaan ini bisa kembali? Semua bergantung pada sejauhmana umat Islam bisa mengindahkan rumus-rumus sejarah yang digambarkan di dalam Alquran.

Minggu, 29 April 2012

Makna Al-Masyriq dan Al-Maghrib Bab 3
Makna Al-Masyriq dan Al-Maghrib (3)
ILUSTRASI
Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Periode ketiga, ditandai dengan lahirnya Nabi Muhammad (abad 6 M) di Makkah (Timur) sampai abad kebangkitan Eropa (abad 13 M).

Periode ini diawali dengan abad kegelapan Kristen Eropa sebagai akibat dominannya raja yang mengambil alih otoritas gereja. Periode ini juga ditandai dengan kelahiran seorang tokoh fenomenal, yaitu Nabi Muhammad SAW.

Ia lahir dalam peta geografi yang sama sekali tidak diperhitungkan oleh dua negara adidaya ketika itu, yaitu Kerajaan Romawi-Bizantium di Barat dan Kerajaan Sasania-Persia di Timur. Figur Nabi Muhammad menjadi central factor pada periode ini. Tentu yang amat penting dalam periode ini adalah kehadiran wahyu Alquran sebagai pedoman hidup.

Periode ini dilukiskan sebagai periode ideal untuk sejarah kemanusiaan, di mana ilmu dan agama menyatu dalam kehidupan umat manusia. Inilah yang menempatkan Nabi Muhammad sebagai The Best Leader dan The Best Manager sepanjang sejarah kemanusiaan, sebagaimana diungkapkan Michael Hart dan Thomas Carlyle.

Pada periode ini, banyak sekali prestasi kemanusiaan yang dapat dicatat, antara lain lahirnya tokoh-tokoh agama, seperti lahirnya empat Imam Mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan Ahmad Ibnu Hambal) dan tokoh-tokoh sains dan filsafat, bangkitnya kembali pemikiran dan filsafat ala Yunani, sehingga periode ini disebut periode filsafat Yunani II.

Masa kejayaan Islam terjadi ketika dunia Islam tidak mempertentangkan Timur dan Barat, tetapi melakukan sintesis positif antara keduanya, sesuai dengan hadis, "Al-hikmah dhalat al-mu'min fa haitsu wajadaha fa huwa ahaqq biha" (hikmah/kebaikan adalah milik orang yang beriman, di mana pun engkau jumpai, ambillah).

Ini juga sejalan dengan ayat berikut: "Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta; (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 177).
Nabi pernah mengirim ekspedisi keilmuan ke Timur, khususnya Cina, yang terkenal dengan hadisnya, "Uthlub al-'ilm walau bi al-shin" (tuntutlah ilmu walau sampai ke tanah Cina). Pada kesempatan lain, Nabi mengutus diplomat dan ekspedisi keilmuan ke Barat, yang hasilnya dalam sejarah Nabi mendapatkan penghargaan dan apresiasi dari raja-raja Barat (Eropa).
Ini semua menjadi penting untuk dunia Islam. Jika ingin kembali menguasai masa depan, polarisasi Timur-Barat harus dihilangkan, sebagaimana terjadi pada masa the golden age.

Sabtu, 28 April 2012

Makna Al-Masyriq dan Al-Maghrib Bab 2
Makna Al-Masyriq dan Al-Maghrib (2)
 ILUSTRASI
Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Perdebatan dunia Timur dan Barat bukan hanya terjadi pada abad modern, melainkan juga sudah muncul sejak dahulu kala.

LWH Hull, seorang profesor yang amat disegani di AS, dalam karya monumentalnya, History and Philosophy of science: An Introduction, mengungkapkan siklus pergumulan antara agama, filsafat, dan ilmu terjadi setiap enam abad.

Pergumulan itu dikaitkan dengan hubungan dialektis antara Timur dan Barat. Ia memulai penelitiannya dengan mengkaji enam abad sebelum Masehi.

Periode ini ditandai dengan lahirnya tokoh-tokoh filsafat Yunani di Barat yang amat tersohor sampai saat ini, seperti Tales (ahli filsafat, astronomi, dan geometrika), Pythagoras (geometrika dan aritmatika), Aristoteles (ahli filsafat, ahli ilmu empiris, lebih dikenal sebagai pendiri Mazhab Alexandria, yang lebih menekankan pendekatan induktif), Plato (ahli filsafat, ahli ilmu-ilmu rasional, lebih dikenal dengan pendiri Mazhab Atena, yang lebih menekankan pendekatan deduktif).

Pada periode ini, para filsuf menenggelamkan peran dan popularitas pemimpin politik dan pemimpin agama, yang umumnya lahir dan berkembang di Timur. Perlu diingat bahwa semua agama besar, seperti Hindu, Buddha, Konghucu, Tao, Yahudi, Nasrani, dan Islam lahir di Timur.

Tidak ada agama besar yang lahir di Barat. Katolik dan Protestan yang besar di Barat itu baru belakangan. Kristen berkembang di Barat setelah 600 tahun Nabi Isa (Yesus Kristus) wafat.

Periode kedua, ditandai dengan lahirnya Nabi Isa (1 M) sampai lahirnya Nabi Muhammad (6 M) di Palestina (Timur). Periode ini ditandai dengan merosotnya pengaruh dan popularitas para filsuf (di Barat) dan menguatnya peran raja yang sekaligus penguasa gereja. Mereka mengatasnamakan diri sebagai wakil Tuhan di bumi. Otoritas dan penentu kebenaran berada di tangan raja (Romawi). Dalam periode ini, hampir tidak ditemukan tokoh pemikir dan filsafat.

Sebaliknya, tercatat sejumlah raja yang sangat full power. Pada masa ini, orang-orang tidak berani berpikir dan mengkaji ilmu pengetahuan karena bisa saja berarti malapetaka baginya. Terutama, jika teori dan hasil pemikirannya berbeda, apalagi bertentangan dengan pendapat gereja. Tidak sedikit jumlah pemikir dan ilmuwan yang menjadi korban karena mereka mencoba memperkenalkan kebenaran di luar gereja.

Akibatnya, muncullah zaman kegelapan yang tidak ada lagi keberanian untuk melakukan pengkajian dan aktivitas ilmu pengetahuan. Inilah yang kemudian disebut dengan zaman jahiliyah dan sekaligus menjadi background lahirnya agama Islam.

Jumat, 27 April 2012

Makna Al-Masyriq dan Al-Maghrib   Bab 1 
Makna Al-Masyriq dan Al-Maghrib (1)
ILUSTRASI
Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Dalam pandangan sufistik, al-masyriq (timur) dan al-maghrib (barat) ternyata bukan hanya menunjukkan tempat atau wilayah geografis, melainkan juga banyak makna dan pesan.

Termasuk di dalamnya adalah pesan kosmologi, teologi, mitologi, antropologi, sosiologi, dan metodologi. Tidak kurang dari 13 kali kata al-masyriq dan al-maghrib terulang di dalam Alquran.

Ada dalam bentuk mufrad (al-masyriq/al-maghrib) seperti dalam QS Al-Baqarah [2]: 115, bentuk mutsanna (al-masyriqain/al-maghribain) seperti dalam QS Al-Rahman [55]: 17, dan ada dalam bentuk jama' (al-masyariq/al-magharib), misalnya, pada QS Al-Ma'arij [70]: 40.
Al-masyriq berasal dari akar kata syaraqa-yasyruq berarti terbit, bersinar, kemudian membentuk kata al-masyriq (timur, sinar yang masuk di celah-celah lubang), al-musytasyriq (orientalis).

Lalu, kata gharaba-yaghrubu berarti pergi menjauh, terbenam, asing, beracun, lalu membentuk kata al-maghrib (barat, tempat/waktu terbenam matahari), al-musytaghrib (oksidentalis).

Dalam kitab-kitab tafsir klasik, kata al-masyriq dan al-maghrib lebih banyak diartikan dengan kata timur dan barat dalam arti geografis, yakni timur dan barat tempat, waktu terbit, serta tenggelamnya matahari, seperti dijelaskan dalam QS Al-baqarah [2]: 115, "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya), lagi Maha Mengetahui.''

Kata al-masyriq dan al-maghrib dihubungkan dengan tempat yang menjadi kiblat shalat umat Islam di Madinah, yang tadinya menghadap ke barat, yaitu ke Baitul Maqdis, dan ke timur, yaitu ke Ka'bah, Kota Suci Makkah. Demikian pula ulama-ulama tafsir mu'tabarah lainnya di kalangan Sunni. Dalam pandangan ulama tasawuf, timur dan barat lebih banyak menekankan makna kosmologis dan hermeneutiknya.

Kata al-masyriq (timur) dihubungkan dengan sebuah dunia yang lebih menekankan arti penting nilai-nilai spiritual-psikologis, sedangkan kata al-maghrib (barat) dikaitkan dengan sebuah dunia yang lebih menekankan aspek filsafat dan logika.

Kamis, 26 April 2012

Barang yang Tidak Boleh Diperjualbelikan
1.    Khamer (Minuman Keras)
Dari Aisyah ra, ia berkata: Tatkala sejumlah ayat akhir surat al-Baqarah turun, Nabi saw keluar (menemui para sahabat) lantas bersabda (kepada mereka), “Telah diharamkan jual beli arak.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari IV: 417 no: 2226, Muslim III: 1206 no: 1580, ‘Aunul Ma’bud IX: 380 no: 3473, dan Nasa’i VII: 308).
2.    Bangkai, Babi dan Patung
Dari Jabir bin Abdullah ra, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda ketika Beliau di Mekkah pada waktu penaklukan kota Mekkah, “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual arak, bangkai, babi dan patung.” Rasulullah saw ditanya, “Bagaimana pendapatmu tentang lemak bangkai, karena itu dipergunakan untuk mengecat perahu-perahu, meminyaki kulit-kulit dan dijadikan penerangan lampu oleh orang-orang?”  Beliau jawab, “Tidak boleh, karena haram.” Kemudian Rasulullah saw pada waktu itu bersabda, “Allah melaknat kaum Yahudi, karena ketika Allah mengharamkan lemak bangkai, justeru mereka mencairkannya, lalu menjualnya, kemudian mereka makan harganya.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 424 no: 2236, Muslim III: 1207 no: 1581, Tirmidzi II: 281 no: 1315, ‘Aunul Ma’bud IX: 377 no: 3469, Ibnu Majah II: 737 no: 2167 dan Nasa’i VII: 309).
3.    Anjing
Dari Abu Mas’ud al-Anshari ra, bahwa Rasulullah saw melarang harga anjing, hasil melacur, dan upah dukun. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 426 no: 2237, Muslim III: 1198 no: 1567, ‘Aunul Ma’bud IX: 374 no: 3464, Tirmidzi II: 372 no: 1293, Ibnu Majah II: 730 no: 2159 dan Nasa’i VII: 309).
4.    Gambar yang Bernyawa
Dari Sa’id bin Abil Hasan, ia berkata : Ketika saya berada di sisi Ibnu Abbas ra tiba-tiba datanglah kepadanya seorang laki-laki lalu bertanya kepadanya “Ya Ibnu Abbas, dan sejatinya aku berprofesi sebagai pelukis gambar-gambar ini.” Maka Ibnu Abbas berkata kepadanya, ‘Saya tidak akan menyampaikan kepadamu melainkan apa yang saya dengan dari Rasulullah saw. Aku mendengar Beliau bersabda, “Barang siapa yang melukis satu gambar, maka sesungguhnya Allah akan mengadzabnya hingga ia meniupkan ruh padanya, padahal ia tidak mungkin selam-lamanya meniupkan ruh padanya.” Maka laki-laki itu berubah dengan perubahan yang besar dan wajahnya menguning. Kemudian Ibnu Abbas berkata kepadanya, “Celaka engkau! Jika engkau membangkang dan akan tetap meneruskan profesimu ini, maka hendaklah engkau (menggambar) pepohonan ini; dan segala sesuatu yang tidak bernyawa.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 416 no: 2225 dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, Muslim III: 1670 no: 2110 dan Nasa’i VIII: 215 secara ringkas).
5.    Buah-Buahan yang Belum Nyata Jadinya
Dari Anas bin Malik ra, dari Nabi saw, bahwa beliau melarang menjual buah-buahan hingga nyata jadinya dan kurma hingga sempurna. Beliau ditanya, “Apa (tanda) sempurnanya?” Jawab Beliau “Berwarna merah atau kuning.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 6928 dan Fathul Bari IV: 397 no: 2167).
Darinya (Anas bin Malik) ra, bahwa Rasulullah saw melarang menjual buah-buahan sebelum sempurna. Kemudian Beliau ditanya, “Apa (tanda) sempurnanya?” Beliau menjawab, “Hingga berwarna merah.” Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Bagaimana pendapatmu apabila Allah menghalangi buah itu untuk menjadi sempurna, maka dengan alasan apakah seorang di antara kamu akan mengambil harta saudaranya.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari: IV: 398 no: 2198 dan lafadz ini milik Imam Bukhari, Muslim III: 1190 no: 155 dan Nasa’i VII: 264).
6.    Biji-Bijian yang Belum Mengeras
“Dari Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah saw melarang menjual buah kurma hingga nyata jadinya, dan (melarang) menjual gandum hingga berisi serta selamat dari hama; Beliau melarang penjualnya dan pembelinya.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 917, Muslim III: 1165 no: 1535, ‘Aunul Ma’bud IX: 222 no: 3352, Tirmidzi II: 348 no: 1245 dan Nasa’i VII: 270).
 
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 662 - 665.

Rabu, 25 April 2012

 Jual Beli yang Terlarang
1.    Jual Beli secara Gharar (yang tidak jelas sifatnya)
Yaitu segala bentuk jual beli yang di dalamnya terkandung jahalah (unsur ketidakjelasan), atau di dalamnya terdapat unsur taruhan atau judi.
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “Rasulullah telah mencegah (kita) dari (melakukan) jual beli (dengan cara lemparan batu kecil) dan jual beli barang secara gharar.” (Shahih: Muktashar Muslim no: 939, Irwa’ul Ghalil no: 1294, Muslim III: 1153 no: 1513, Tirmidzi II: 349. no: 1248, ‘Aunul Ma’bud IX: 230 no: 3360, Ibnu Majah II: 739 no: 2194 dan Nasa’i VII: 262).
Imam Nawawi dalam Syarhu Muslimnya X: 156 menjelaskan “Adapun larangan jual beli secara gharar, merupakan prinsip yang agung dari sekian banyak prinsip yang terkandung dalam Bab Jual Beli, oleh karena itu, Imam Muslim menempatkan hadits gharar ini di bagian pertama dalam Kitabul Buyu’ yang dapat dimasukkan ke dalamnya berbagai permasalahan yang amat banyak tanpa batas, seperti, jual beli budak yang kabur, jual beli barang yang tidak ada, jual beli barang yang tidak diketahui, jual beli barang yang tidak dapat diserahterimakan, jual beli barang yang belum menjadi hak milik penuh si penjual, jual beli ikan di dalam kolam yang lebar, jual beli air susu yang masih berada di dalam tetek hewan, jual beli janin yang ada di dalam perut induknya, menjual sebagian dari seonggok makanan dalam keadaan tidak jelas (tanpa ditakar dan tanpa ditimbang), menjual satu pakaian di antara sekian banyak pakaian, menjual seekor kambing di antara sekian banyak kambing, dan yang semisal dengan itu semuanya. Dan, semua jual beli ini bathil, karena sifatnya gharar tanpa ada keperluan yang mendesak.”
Selanjutnya, beliau (Nawawi) berkata : “Kalau ada hajat yang mengharuskan melakukan gharar, dan tertutup kemungkinan untuk menghindarinya, kecuali dengan amat sulit sekali, lagi pula gharar tersebut bersifat sepele, maka boleh jual beli yang dimaksud. Oleh sebab itu, kaum muslim sepakat atas bolehnya jual beli jas yang di dalamnya terdapat kapas yang sulit dipisahkan, dan kalau kapasnya dijual secara terpisah justru tidak boleh.”
“Ketahuilah bahwa jual beli barang secara mulamasah, secara munabadzah, jual beli barang secara habalul habalah, jual beli barang dengan cara melemparkan batu kecil, dan larangan itu semua yang terkategori jual beli yang ditegaskan oleh nash-nash tertentu maka semua itu masuk ke dalam larangan jual beli barang secara gharar. Akan tetapi jual beli secara gharar ini disebutkan secara sendirian dan ada larangan secara khusus, karena praktik jual beli gharar ini termasuk praktik jual beli jahiliyah yang amat terkenal. Wallahu a’lam."

2.    Jual Beli Secara Mulamasah dan Munabadzah
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “(Kita) dilarang dari (melakukan) dua bentuk jual beli: yaitu secara mulamasah dan munabadzah. Adapun munabadzah ialah setiap orang dari pihak penjual dan pembeli meraba pakaian rekannya tanpa memperhatikannya. Sedangkan munabadzah ialah masing-masing dari keduanya melemparkan pakaiannya kepada rekannya, dan salah satu dari keduanya tidak memperhatikan pakaian rekannya” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 938 dan Muslim III: 1152 no: 2 dan 1511).
Dari Abu Sa’ad al-Khudri ra, ia berkata, “Rasulullah telah melarang kita dari (melakukan) dua bentuk jual beli dan dua hal yang mengandung ketidakjelasan: yaitu jual beli secara mulamasah dan munabadzah. Mulamasah ialah seseorang meraba pakaian orang lain dengan tangannya, pada waktu malam atau siang hari, tetapi tanpa membalik-baliknya; dan munabadzah ialah seseorang melemparkan pakaiannya kepada orang lain dan orang lain itupun melemparkan pakaiannya kepada pelempar pertama yang berarti masing-masing telah membeli dari yang lainnya tanpa diteliti dan tanpa saling merelakan.” (Muttafaqun’alaih: Muslim III: 1152 No 1512, dan ini lafadznya, Fathul Bari IV: 358 no: 2147, 44, ’Aunul Ma’bud IX: 231 no: 3362 dan Nasa’i VII: 260).

3.    Jual Beli Barang secara Habalul Habalah
Dari Ibnu Umar ra, ia berkata, “Adalah kaum jahiliyah biasa melakukan jual beli daging unta sampai dengan lahirnya kandungan, kemudian unta yang dilahirkan itu bunting. Dan, habalul habalah yaitu unta yang dikandung itu lahir, kemudian unta yang dilahirkan itu bunting, kemudian Nabi melarang yang demikian itu.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 356 no: 2143, Muslim III: 1153 no: 1514, ‘Aunul Ma’bud IX: 233 no: 3365, 64, Tirmidzi II: 349 no: 1247 secara ringkas, Nasa’i VII: 293 dan Ibnu Majah II:740 no: 2197 secara ringkas).

4.    Jual Beli Dengan Lemparan Batu Kecil
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “Rasulullah saw melarang jual beli dengan lemparan batu kecil dan jual beli secara gharar.” (Hasan: Shahih Ibnu Majah no: 1817 dan Ibnu Majah II: 752 no: 2235).
Dalam kitab Syarhu muslim X:156, Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Adapun jual beli secara lemparan batu-batu kecil itu, ada tiga penafsiran:
Pertama, seorang penjual berkata pada si pembeli, ‘Saya menjual dari sebagian pakaian ini, yang terkena lemparan batu saya,’ atau ia berkata kepada si pembeli, ‘Saya menjual kepadamu tanah ini, yaitu dari sini sampai dengan batas tempat jatuhnya batu yang dilemparkan.’
Kedua, seorang berkata kepada si pembeli, ‘Saya jual kepadamu barang ini, dengan catatan engkau mempunyai hak khiyar (pilih) sampai aku melemparkan batu kecil ini.’
Ketiga, pihak penjual dan pembeli menjadikan sesuatu yang dilempar dengan batu sebagai barang dagangan, yaitu pembeli berkata kepada penjual, ‘Apabila saya lempar pakaian ini dengan batu, maka ia saya beli darimu dengan harga sekian.’

5.    Upah Persetubuhan Pejantan
Dari Ibnu Umar ra, ia berkata, “Nabi saw melarang (makan) upah persetubuhan pejantan.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 939, Fathul Bari IV: 461 no: 2284, ‘Aunul Ma’bud IX: 296 no: 3412, Tirmidzi II: 372 no: 1291 dan Nasa’i VII: 310).

6.  Jual Beli Sesuatu yang Belum Menjadi Hak Milik
Dari Hakim bin Hizam ra, ia berkata : Aku berkata, “Ya Rasulullah, ada seorang yang akan membeli dariku sesuatu yang tidak kumiliki. Bolehkan saya menjualnya?” Maka jawab beliau, “Jangan kamu jual sesuatu yang tidak menjadi milikmu.” (Shahih: Irwa’ul Ghalil no: 1292, Ibnu Majah II: 737 no:2187, Tirmidzi II:350 no: 1250, ‘Aunul Ma’bud IX: 401 no: 3486, Nasa’i VII: 289).

7.  Jual Beli Barang yang Belum Diterima
Dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa membeli makanan, maka janganlah ia menjualnya hingga ia menerimanya.” Ibnu Abas berkata, “Saya menduga segala sesuatu sama statusnya dengan makanan.” (Muttafaqun ’alaih: Muslim III: 1160 no: 30 dan 1525 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari IV: 349 no: 2135, ‘Aunul Ma’bud IX: 393 no:3480, Nasa’i VII: 286 dan Tirmidzi II: 379 no: 1309).
Dari Thawas dari Ibnu Abas ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa membeli makanan, maka janganlah menjualnya hingga ia manakarnya.” Kemudian saya (Thawas) berkata kepada Ibnu Abas, “Mengapa?” Jawabnya, “Tidakkah engkau melihat orang-orang membeli dengan emas, sedangkan makanan yang dibeli itu tertangguhkan.” (Muttafaqun ‘alaih: Muslim III: 1160 no: 31 dan 1525 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari IV: 347 no: 2132 dan ‘Aunul Ma’bud IX: 392 no: 3479).

8.  Jual Beli Atas Pembelian Saudara
Dari Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah sebagian di antara kamu membeli atas pembelian sebagaian yang lain.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 373 no: 2165, Muslim III: 1154 no:1412, dan Ibnu Majah II: 333 no: 1271).
Dari abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah seseorang Muslim menawar atas tawaran saudaranya.” (Shahih: Irwa’ul Ghalil no: 1298, dan Muslim III: 1154 no: 1515).

9.  Jual Beli secara ‘Inah.
Yang dimaksud jual beli secara ‘inah ialah seseorang menjual sesuatu kepada orang lain dengan harga bertempo, lalu sesuatu itu diserahkan kepada pihak pembeli, kemudian penjual itu membeli kembali barangnya tadi secara kontan sebelum harganya diterima, dengan harga yang lebih rendah daripada harga penjualnya tadi.
Dari Ibnu Umar ra, bahwa Nabi saw bersabda, “Apabila kamu berjual beli secara ‘inah dan 'memegangi ekor-ekor sapi' [kinayah/kiasan sibuk dengan urusan peternakan/keduniaan] dan puas dengan pertanian serta meninggalkan jihad, maka Allah akan menguasakan atas kamu kehinaan, dia tidak akan mencabut hingga kamu kembali kepada agamamu.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:423 dan “Aunul Ma’bud IX:335 no:3445).

10.  Jual Beli Barang Secara Taqsith (Kredit atau dengan penambahan harga)
Jual beli bertempo dengan harga lebih mahal daripada harga kontan atau cash dewasa ini menjamur di mana-mana. Praktek jual beli model ini dikenal dengan sebutan bai’ bittaqsith (jual beli secara kredit), yaitu sebagaimana yang sudah dimaklumi yaitu menjual barang secara kredit dengan harga lebih tinggi daripada harga cash sebagai imbalan bagi pelunasannya yang bertempo ini. Sebagai misal, ada barang dijual secara kontan dengan harga seribu Pound, lalu secara taqsith seribu dua ratus Pound. Maka jual beli ini termasuk jual beli yang dilarang. 
Dari Abu Huairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa menjual dua penjualan dalam satu penjualan maka baginya yang paling ringan di antara keduanya atau menjadi riba.” (Hasan: Shahihul Jami’ no: 6116, ‘Aunul Ma’bud no: 3444, untuk lebih jelasnya lihat as-Silsilah Ash-Shahihah oleh Syaikh al-Albani no: 2326 dan kitab al-Qaulu al-Fashl Fi Bai’il Ajali oleh Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq).
Namun, menurut jumhur ulama jual beli barang secara kredit diperbolehkan. Hanya sebagian kecil ulama yang tidak membolehkan, seperti yang menulis buku ini dan Syaikh Nasiruddin Al-Albani. Wallahu A'lam.
 
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 655-662.

Selasa, 24 April 2012

 Larangan Menahan Upah Pekerja
Dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali
 ILUSTRASI
Dari Abu Hurairah r.a. dari Rasulullah saw, beliau bersabda, "Allah SWT berkata, 'Ada tiga macam orang yang langsung Aku tuntut pada hari kiamat, seorang yang membuat perjanjian atas nama-Ku lalu ia langgar. Seorang yang menjual orang merdeka lalu memakan hasil penjualannya. Dan seorang yang mempekerjakan orang lain dan ia telah memperoleh keuntungan dari hasil pekerjaannya, namun ia tidak memberikan upahnya'," (HR Bukhari [2227]).
Kandungan Bab: 
  1. Wajib memberi upah kepada pekerja apabila ia telah menyelesaikan pekerjaan yang telah disepakati bersama karena upah haris diberikan apabila pekerjaan telah selesai. 
  2. Barangsiapa memperoleh manfaat dari pekerjaan orang lain, namun ia tidak memberikan upahnya, maka ia berdosa, seakan-akan ia telah memperbudaknya. Karena ia telah memperoleh keuntungan dari pekerjaan orang lain tanpa memberikan bayarannya.  

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 1/315-316.

Senin, 23 April 2012

Keberkahan Sholat Subuh
 
Keberkahan Subuh
 Sholat subuh berjamaah (Ilustrasi)
Assalaamu alaikum wa rahmatullaahimwa barkaatuh.
Apa kabar sahabat mu'minku fillah, semoga kalian selalu dalam berkah Allah.
Rasulullahpun menyambut umatnya di waktu subuh dengan doa untuk umatnya, "Allahumma baarik ummaty fii bukuuriha", "Ya Allah berkahilah umat dengan segala aktivitas di waktu subuh".

lhamdulillah aku bersama anak-anakku baru pulang dari masjid, sepulang dari masjid mereka berhamburan mengejar mencium tangan pipi mamanya yang sedang duduk diatas sajadah membaca Alqur'an, dibalas dengan dekapan ciuman pula oleh mamanya, subhanAllah subuhpun terasa indah membahagiakan, semoga kalian demikian sahabatku fillah tercinta.

Awalilah keberkahan subuh dengan berjamaah di mesjid, kaki belum melangkah kemanapun lebih dahulu datangilah Rumah Allah, masjid, insya Allah keberkahan demi keberkahan kalian rasakan... Aamiin.

Minggu, 22 April 2012

Wali-Wali Syetan Beserta Kesesatan-Kesesatan Mereka
Dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi 
Orang Muslim beriman, bahwa syetan mempuyai wali-wali dari kalangan manusia. Syetan berkuasa atas mereka, kemudain membuat mereka lupa dzikir kepada Allah Ta'ala, membujuk mereka kepada keburukan, dan menyodorkan kebatilan kepada mereka, menulikan mereka dari mendengar kebenaran, dan membutakan mereka dari melihat bukti-bukti kebenaran.

Mereka tunduk kepada syetan, dan taat kepada perintah-perintanya. Syetan merayu mereka dengan keburukan, dan menjerumuskan mereka ke dalam kerusakan dengan tazyin (menghias sesuatu sehingga terlihat sebaliknya), hingga ia kenalkan kemungkinan kepada mereka, dan mereka pun mengenalnya. Syetan membuat menghias kebaikan sebagai kemungkaran kepada mereka, dan mereka memungkiri kebaikan tersebut. Mereka adalah musuh-musuh wali-wali Allah Ta'ala dan perang selalu meledak di antara kedua kelompok.
Wali-wali Allah Ta'ala setia kepada Allah Ta'ala, sedang mereka memusuhinya. Wali-wali mencintai Allah Ta'ala, dan membuat-Nya ridha, sedang mereka membuat-Nya marah, dan murka kepada mereka. Maka, kutukan Allah Ta'ala atas mereka, kendati banyak sekali kejadian-kejadian luar biasa terjadi pada mereka. Seperti, mereka bisa terbang ke langit atau berjalan di atas air. Sebab, itu tidak lain adalah istidraj dari Allah Ta'ala bagi orang yang memusuhi-Nya, atau menjadi penolong syetan dalam menghadapi orang-orang yang setia kepada-Nya. Orang muslim meyakini itu semua karena dalil-dalil wahyu dan dalil-dalil akal.
Dalil-Dalil Wahyu
  1. Penjelasan Allah Ta'ala tentang wali-wali syetan dalam firman-firman-Nya, seperti firman-firman-Nya berikut ini.
    • "Dan orang-orang yang kafir, wali-wali mereka ialah syetan yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka ini penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya." (Al-Baqarah: 257)
    • "Sesungguhnya syetan membisikkan kepada wali-walinya, agar mereka membantah kamu dan jika kalian menuruti mereka, sesungguhnya kalian tentulah menjadi orang-orang yang musyrik." (Al-An'am: 121)
    • "Dan (ingatlah) hari di waktu Allah menghimpun mereka semuanya (dan Allah berfirman), ‘Hai golongan jin, sesungguhnya kalian telah banyak (menyesatkan) manusia', lalu berkatalah wali-wali mereka dari golongan manusia, 'Ya Tuhan kami, sesungguhnya sebagian dari kami telah mendapatkan kesenangan dari sebagian (yang lain) dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami'. Allah berfirman, ‘Neraka itulah tempat diam kalian, sedang kalian kekal di dalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain)'." (Al-An'am: 128)
    • "Barang siapa berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al-Qur'an), Kami adakan baginya syetan (yang menyesatkan). Maka, syetan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan sesungguhnya syetan-syetan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk." (Az-Zukhruf: 36-37)
    • "Sesungguhnya Kami telah menjadikan syetan-syetan sebagai wali-wali bagi orang-orang yang tidak beriman." (Al-A'raf: 27)
    • "Sesungguhnya mereka menjadikan syetan-syetan sebagai wali-wali selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk." (Al-A'raaf: 30)
    • "Dan Kami tetapkan bagi mereka teman-teman yang menjadikan mereka memandang bagus apa yang ada di hadapan dan di belakang mereka." (Fushshilat: 25)
    • "Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, 'Sujudlah kalian kepada Adam', maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kalian mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai wali-wali selain Aku, padahal mereka musuh kalian?" (Al-Kahfi: 50)
  2. Penjelasan Rasulullah saw. tentang wali-wali syetan dalam sabda-sabdanya, misalnya dalam sabda-sabdanya berikut ini.
    • Sabda Rasulullah saw. ketika beliau melihat salah satu bintang dilempar, kemudian bersinar, "Apa yang kalian katakan tentang hal ini pada masa jahiliyah?" Para sahabat menjawab, "Dulu kami berkata bahwa (bintang dijatuhkan) itu karena orang penting telah meninggal dunia, atau orang penting telah lahir", Rasulullah saw. bersabda, "Bintang dilempar (dijatuhkan) tidak karena kematian seseorang atau karena kehidupanya. Namun, jika Tuhan kita Tabaraka wa Ta'ala telah memutuskan sesuatu, maka para malaikat pemikul Arasy bertasbih, kemudian seluruh penghuni sesudah mereka bertasbih, kemudian diteruskan malaikat-malaikat sesudah mereka hingga tasbih memenuhi seluruh penghuni langit. Penghuni langit bertanya kepada malaikat-malaikat pemikul Arasy, 'Apa yang difirmankan Tuhan kita?' Malaikat-malaikat pemikul Arasy menjelaskan kepada penghuni langit apa yang difirmankan Allah, kemudian penghuni setiap langit meminta penjelasan (tentang apa yang Allah menyebar ke seluruh penghuni langit dunia, kemudian syetan-syetan mencuri wahyu tersebut, kemudian mereka dilempar (dengan bintang tersebut), kemudian mereka memberikannya kepada wali-wali mereka. Apa yang mereka dalam bentuk aslinya adalah benar, namun mereka memberi tambahan ke dalamnya." (Diriwayatkan Muslim, Ahmad dan lain-lain).
    • Sabda Rasulullah saw. ketika beliau ditanya tentang dukun, "Mereka tidak ada apa-apanya". Para sahabat berkata, "Ya, namun mereka kadang-kadang mengatakan sesuatu pada kami, kemudian sesuatu tersebut menjadi benar." Rasulullah saw. bersabda, "Perkataan tersebut adalah kebenaran yang dicuri jin. Ia mendengarkannya ke telinga wali-walinya, kemudian wali-walinya menambahkan status kebohongan di perkataan tersebut." (Diriwayatkan Al-Bukhari)
    • "Tidak ada salah seorang dari kalian, melainkan ia didampingi teman dari jin." (Diriwayatkan Muslim).
    • "Sesungguhnya syetan mengalir di peredaran darah anak keturunan Adam. Oleh karena itu, himpitlah dia di peredarannya dengan puasa." (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim).
  3. Apa yang disaksikan puluhan ribuan manusia, berupa kondisi-kondisi kesyetanan yang aneh di semua zaman, dan semua tempat yang terjadi pada wali-wali syetan. Di antara wali-wali syetan, ada orang yang didatangi syetan dengan beraneka ragam makanan dan minuman. Ada di antara mereka yang diajak bicara syetan dengan ghaib dan syetan memperlihatkan padanya batin, segala sesuatu, dan rahasia-rahasianya. Ada di antara mereka yang didatangi syetan yang menjelma dalam bentuk salah seorang shalih. Ketika orang tersebut meminta pertolongan kepadanya, syetan ingin menipunya, menyesatkannya, dan membawanya kepada syirik kepada Allah, dan maksiat kepada-Nya. Di antara mereka ada yang dibawa syetan ke tempat yang jauh, atau syetan menghadirkan padanya orang-orang atau barang-barang dari tempat yang jauh. Dan kejadian-kejadian lain yang didukung syetan, jin-jin pembangkang dan brengsek.
Kejadian-kejadian kesyetanan di atas terjadi karena keburukan ruh manusia akibat melakukan berbagai keburukan, kerusakan, kekafiran, kemaksiatan yang jauh dari orang yang mempunyai kebenaran dan kebaikan, jauh dari iman, dan jauh dari keshalihan hingga kebutuhan ruh tersebut menyatu dengan ruh syetan-syetan yang dicetak di atas keburukan. Dan sebagian dari mereka mengabdi kepada sebagian yang lain sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Oleh karena itu, dikatakan kepada mereka pada hari kiamat, "Hai golongan jin (syetan), sesungguhnya kalian telah banyak (menyesatkan) manusia". Wali-wali jin (syetan) dari manusia berkata, "Ya Tuhan kami, sesungguhnya sebagian dari kami telah dapat kesenangan dari sebagian (yang lain)." (Al-An-am: 128).
Adapun perbedaan antara karamah Rabbaniyah wali-wali Allah dengan kejadian-kejadian kesyetanan itu bisa dilihat pada perilaku seseorang dan kondisi dirinya. Jika orang tersebut termasuk orang beriman, orang bertakwa yang berpegang teguh kepada Syari'at Allah secara lahir dan batin, maka kejadian-kejadian luar biasa yang terjadi padanya adalah karamah dari Allah Ta'ala untuknya. Jika orang tersebut termasuk orang brengsek, buruk, jauh dari ketakwaan, dan tenggelam dalam berbagai kemaksiatan, kekafiran, dan kerusakan, maka kejadian-kejadian luar biasa yang terjadi padanya adalah sejenis istidraj, atau pengabdian syetan untuknya, atau bantuan syetan padanya.

Sumber: Diadaptasi dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaajul Muslim, atau Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, terj. Fadhli Bahri (Darul Falah, 2002), hlm. 81-85.

Sabtu, 21 April 2012

Waktu-Waktu Yang Terlarang Untuk Mengerjakan Shalat 
Dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, "Shafwan bin al-Mu'aththil pernah bertanya kepada Rasulullah saw, 'Wahai Rasulullah, aku ingin bertanya kepadamu tentang suatu perkara yang engkau ketahui dan aku tidak tahu tentangnya.' 'Perkara apa itu?' tanya Rasulullah. la berkata, 'Adakah waktu di siang atau malam hari yang telarang bagi kita untuk mengerjakan shalat?' Rasulullah saw. menjawab, 'Ya ada, jika engkau telah mengerjakan shalat Shubuh, maka janganlah mengerjakan shalat sunnah hingga matahari terbit. Karena matahari terbit di antara dua tanduk syaitan. Setelah itu, silahkan engkau mengerjakan shalat sunnah, karena shalat pada saat itu dihadiri (oleh para Malaikat) dan diterima hingga matahari tepat di atas kepalamu seperti tegak lurusnya tombak. Jika matahari tepat di atas kepalamu, maka janganlah shalat, karena saat itu Jahannam dinyalakan dan pintu-pintunya dibuka. Hingga matahari tergelincir ke arah kananmu (ke arah barat). Jika matahari telah tergelincir, maka silahkan engkau shalat, karena shalat pada saat itu dihadiri (oleh para Malaikat) dan diterima hingga engkau mengerjakan shalat 'Ashar. Kemudian janganlah mengerjakan shalat sunnah hingga matahari terbenam," (Shahih, HR Ibnu Majah [1252], Ibnu Hibban [1452] dan al-Baihaqi [11/ 455]).
Diriwayatkan dari 'Uqbah bin 'Amir r.a. ia berkata, "Ada tiga waktu yang Rasulullah saw. melarang kami mengerjakan shalat dan menguburkan jenazah; Ketika matahari terbit hingga benar-benar meninggi, ketika bayangan orang yang berdiri sudah tegak lurus pada waktu tengah hari liingga matahari tergelincir, dan ketika matahari telah condong untuk tenggelam hingga benar-benar tenggelam," (HR Muslim [831]).
Diriwayatkan dari 'Abdullali bin 'Abbas r.a. berkata, "Telah bersaksi kepadaku orang-orang yang dapat kupercaya, termasuk di dalamnya orang yang paling aku percayai, yakni 'Umar bin Khaththab r.a, bahwasanya Rasulullah saw. melarang shalat sunnah sesudah shalat Shubuh hingga matahari terbit dan sesudah shalat 'Ashar hingga matahari terbenam," (HR. Bukhari [581] dan Muslim [826]).
Diriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri r.a. berkata, "Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Tidak ada shalat sunnah sesudah shalat Shubuh hingga matahari benar-benar meninggi, dan tidak ada shalat sunnah sesudah shalat 'Ashar hingga matahari benar-benar tenggelam. 

Jumat, 20 April 2012

Etika Menghadiri Undangan
Dari Abu Bakr Jabir al-Jazair

Di antara etika menghadiri undangan ialah sebagai berikut: 
1. Tidak berlama-lama di rumah pengundang, karena hal ini membuat mereka kalut, dan tidak buru-buru datang ke rumah pengundang sebelum mereka mengadakan persiapan untuknya, sebab hal tersebut mengganggu pengundang.
2. Jika orang Muslim masuk ke rumah pengundang, ia tidak boleh menonjolkan dirinya di pertemuan, namun ia harus tawadlu' di dalamnya, dan jika tuan rumah menyuruhnya duduk di salah satu tempat maka ia duduk di dalamnya dan tidak pindah daripadanya.
3.  Pengundang harus segera menghidangkan makanan kepada para tamu, karena menyegerakan penghidangan makanan kepada tamu adalah memuliakan tamu. Rasulullah saw. memerintahkan pemuliaan tamu dengan sabdanya,
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia memuliakan tamunya."
4. Tuan rumah tidak boleh memberesi makanan sebelum tangan tamu diangkat daripadanya, dan sebelum semua tamu selesai makan.
5. Tuan rumah harus menghidangkan makanan secukupnya kepada para tamu, sebab hidangan yang sedikit itu mengurangi kedermawanan, dan hidangan yang banyak itu riya' dan keduanya tercela.
6.  Jika tamu singgah di rumah seseorang, ia tidak boleh berada di rumahnya lebih dari tiga hari, terkecuali jika tuan rumah memintanya tetap berada di rumahnya lebih tiga hari. Jika tamu ingin keluar rumah, ia harus meminta izin kepada tuan rumah.
7.  Tuan rumah mengajak tamunya jalan-jalan ke luar rumah, karena para salafush shalih biasa melakukannya, dan itu termasuk memuliakan tamu yang diperintahkan.
8.  Jika tamu pergi dari rumah yang disinggahi, ia harus keluar dengan lapang dada, kendati misalnya ia mendapatkan perlakuan buruk, dan sikap lapang dada seperti itu adalah akhlak mulia dimana dengannya seseorang bisa menyamai derajat orang yang berpuasa dan qiyamul lail.
9.  Hendaklah seorang Muslim rnempunyai tiga kamar tidur, satu untuk dirinya sendiri, satu untuk keluarganya, dan satunya lagi untuk tamu. Memiliki kamar tidur lebih dari tiga itu dilarang, karena Rasulullah saw. bersabda,
"Satu kamar tidur laki-laki (suami), satu kamar tidur untuk wanita (istri), satu kamar untuk tamu, dan kamar keempat adalah untuk syetan." (Diriwayatkan Muslim).

Sumber: Diadaptasi dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaajul Muslim, atau Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, terj. Fadhli Bahri (Darul Falah, 2002), hlm.  194-195.

Kamis, 19 April 2012

RIBA

1.    Pengertian Riba
Kata Ar-Riba adalah isim maqshur, berasal dari rabaa yarbuu, yaitu akhir kata ini ditulis dengan alif.
Asal arti kata riba adalah ziyadah ‘tambahan’; adakalanya tambahan itu berasal dari dirinya sendiri, seperti firman Allah swt:
(ihtazzat wa rabat) “maka hiduplah bumi itu dan suburlah.” (QS Al-Hajj: 5).
Dan, adakalanya lagi tambahan itu berasal dari luar berupa imbalan, seperti satu dirham ditukar dengan dua dirham.

2.    Hukum Riba
Riba, hukumnya berdasar Kitabullah, sunnah Rasul-Nya dan ijma’ umat Islam:
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka permaklumkanlah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kami tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS Al-Baqarah: 278-279).
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS Al-Baqarah: 275).
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah.” (QS Al-Baqarah: 276).
Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, “Jauhilah tujuh hal yang membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Apa itu, ya Rasulullah?” Jawab Beliau, “(Pertama) melakukan kemusyrikan kepada Allah, (kedua) sihir, (ketiga) membunuh jiwa yang telah haramkan kecuali dengan cara yang haq, (keempat) makan riba, (kelima) makan harta anak yatim, (keenam) melarikan diri pada hari pertemuan dua pasukan, dan (ketujuh) menuduh berzina perempuan baik-baik yang tidak tahu menahu tentang urusan ini dan beriman kepada Allah.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari V: 393 no: 2766, Muslim I: 92 no: 89, ‘Aunul Ma’bud VIII: 77 no: 2857 dan Nasa’i VI: 257).
Dari Jabir ra, ia berkata. “Rasulullah saw melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksinya dan penulisnya.” Dan Beliau bersabda, “Mereka semua sama.” (Shahih: Mukhtasar Muslim no: 955, Shahihul Jami’us Shaghir no: 5090 dan Muslim III: 1219 no: 1598).
Dari Ibnu Mas’ud ra bahwa Nabi saw bersabda, “Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu, yang paling ringan (dosanya) seperti seorang anak menyetubuhi ibunya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3539 dan Mustadrak Hakim II: 37).
Dari Abdullah bin Hanzhalah ra dari Nabi saw bersabda, “Satu Dirham yang riba dimakan seseorang padahal ia tahu, adalah lebih berat daripada tiga puluh enam pelacur.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3375 dan al-Fathur Rabbani XV: 69 no: 230).
Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi saw, Beliau bersabda, “Tak seorang pun memperbanyak (harta kekayaannya) dari hasil riba, melainkan pasti akibat akhirnya ia jatuh miskin.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 5518 dan Ibnu Majah II: 765 no: 2279).

3.    Klasifikasi Riba
Riba ada dua macam yaitu riba nasiah dan riba fadhl.
Adapun yang dimaksud riba nasiah ialah tambahan yang sudah ditentukan di awal transaksi, yang diambil oleh si pemberi pinjaman dari orang yang menerima pinjaman sebagai imbalan dari pelunasan bertempo. Riba model ini diharamkan oleh Kitabullah, sunnah Rasul-Nya, dan ijma’ umat Islam.
Sedangkan yang dimaksud riba fadhl adalah tukar menukar barang yang sejenis dengan ada tambahan, misalnya tukar menukar uang dengan uang, menu makanan dengan makanan yang disertai dengan adanya tambahan.
Riba model kedua ini diharamkan juga oleh sunnah Nabi saw dan ijma’ kaum Muslimin, karena ia merupakan pintu menuju riba nasiah.

4.    Beberapa Barang yang padanya Diharamkan Melakukan Riba
Riba tidak berlaku, kecuali pada enam jenis barang yang sudah ditegaskan nash-nash syar’i berikut:
Dari Ubaidah bin Shamir ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “(Boleh menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir (sejenis gandum) dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sebanding, sama dan tunai, tetapi jika berbeda jenis, maka juallah sesukamu, apabila tunai dengan tunai.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 949, dan Muslim III: 1211 no: 81 dan 1587).
Dengan demikian, apabila terjadi barter barang yang sejenis dari empat jenis barang ini, yaitu emas ditukar dengan emas, tamar dengan tamar, maka haram tambahannya baik secara riba fadhl maupun secara riba nasiah, harus sama baik dalam hal timbangan maupun takarannya, tanpa memperhatikan kualitasnya bermutu atau jelek, dan harus diserahterimakan dalam majlis.
Dari Abi Sa’id al-Khudri ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kamu menjual emas kecuali sama, janganlah kamu tambah sebagiannya atas sebagian yang lain, janganlah kamu menjual perak dengan perak kecuali sama, janganlah kamu tambah sebagiannya atas sebagian yang lain, dan janganlah kamu menjual emas dan perak yang barang-barangnya belum ada dengan kontan.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 379 no: 2177, Muslim III: 1208 no: 1584, Nasa’i VII: 278 dan Tirmidzi II: 355 no: 1259 sema’na).
Dari Umar bin Khattab ra bahwa Rasulullah saw bersabda. “Emas dengan emas adalah riba kecuali begini dengan begini (satu pihak mengambil barang, sedang yang lain menyerahkan) bur dengan bur (juga) riba kecuali begini dengan  begini, sya’ir dengan sya’ir riba kecuali begini dengan begini, dan tamar dengan tamar adalah riba kecuali begini dengan begini.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bahri IV: 347 no: 2134, dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, Muslim III: 1209 no: 1586, Tirmidzi II: 357 no: 1261, Nasa’i VII: 273 dan bagi mereka lafadz pertama memakai adz-dzahabu bil wariq (emas dengan perak) dan Aunul Ma’bud IX: 197 no: 3332 dengan dua model lafadz).
Dari Abu Sa’id ra, ia bertutur: Kami pada masa Rasulullah saw pernah mendapat rizki berupa tamar jama’, yaitu satu jenis tamar, kemudian kami menukar dua sha’ tamar dengan satu sha’ tamar. Lalu kasus ini sampai kepada Rasulullah saw maka Beliau bersabda, “Tidak sah (pertukaran) dua sha’ tamar dengan satu sha’ tamar, tidak sah (pula) dua sha’ biji gandum dengan satu sha’ biji gandum, dan tidak sah (juga) satu Dirham dengan dua Dirham.” (Muttafaqun ’alaih: Muslim III: 1216 no: 1595 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari IV: 311 no: 2080 secara ringkas dan Nasa’i VII: 272).
Manakala terjadi barter di antara enam jenis barang ini dengan lain jenis, seperti emas ditukar dengan perak, bur dengan sya’ir, maka boleh ada kelebihan dengan syarat harus diserahterimakan di majlis:
Berdasar hadits Ubadah tadi:
“…tetapi jika berlainan jenis maka juallah sesukamu, apabila tunai dengan tunai.”
Dalam riwayat Imam Abu Daud dan lainnya dari Ubadah ra Nabi saw bersabda: “Tidak mengapa menjual emas dengan perak dan peraknya lebih besar jumlahnya daripada emasnya secara kontan, dan adapun secara kredit, maka tidak boleh; dan tidak mengapa menjual bur dengan sya’ir dan sya’irnya lebih banyak daripada burnya secara kontan dan adapun secara kredit, maka tidak boleh.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 195 dan ‘Aunul Ma’bud IX: 198 no: 3333).
Apabila salah satu jenis di antara enam jenis ini ditukar dengan barang yang berlain jenis dan ‘illah ‘sebab’, seperti emas ditukar dengan bur, atau perak dengan garam, maka boleh ada kelebihan atau secara bertempo, kredit:
Dari Aisyah ra bahwa Nabi saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi secara bertempo, sedangkan Nabi saw menggadaikan sebuah baju besinya kepada Yahudi itu. (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1393 dan Fathul Bari IV: 399 no: 2200).
Dalam kitab Subulus Salam III: 38, al-Amir ash-Sha’ani menyatakan. “Ketahuilah bahwa para ulama’ telah sepakat atas bolehnya barang ribawi (barang yang bisa ditakar atau ditimbang, edt) ditukar dengan barang ribawi yang berlainan jenis, baik secara bertempo meskipun ada kelebihan jumlah atau berbeda beratnya, misalnya emas ditukar dengan hinthah (gandum), perak dengan gandum, dan lain sebagainya yang termasuk barang yang bisa ditakar.”
Namun, tidak boleh menjual ruthab (kurma basah) dengan kurma kering, kecuali para pemilik ‘ariyah, karena mereka adalah orang-orang yang faqir yang tidak mempunyai pohon kurma, yaitu mereka boleh membeli kurma basah dari petani kurma, kemudian mereka makan dalam keadaan masih berada di pohonnya, yang mereka taksir, mereka menukarnya dengan kurma kering.
Dari Abdullah bin Umar ra, bahwa Rasulullah saw melarang muzabanah. Muzabanah ialah menjual buah-buahan dengan tamar secara takaran, dan menjual anggur dengan kismis secara takaran. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 384 no: 2185, Muslim III: 1171 no: 1542 dan Nasa’i VII: 266)
Dari Zaid bin Tsabit ra bahwa Rasulullah saw memberi kelonggaran kepada pemilik ‘ariyyah agar menjualnya dengan tamar secara taksiran. (Muttafaqun‘alaih: Muslim III: 1169 no: 60 dan 1539 dan lafadz ini baginya dan sema’na dalam Fathul Bari IV: 390 no: 2192, ‘Aunul Ma’bud IX: 216 no: 3346, Nasa’i VII: 267, Tirmidzi II: 383 no: 1218 dan Ibnu Majah II: 762 no: 2269).
Sesungguhnya Nabi saw melarang menjual kurma basah dengan tamar hanyalah karena kurma basah kalau kering pasti menyusut.
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra bahwa Nabi saw pernah ditanya perihal menjual kurma basah dengan tamar. Maka Beliau (balik) bertanya, “Apakah kurma basah itu menyusut apabila telah kering?” Jawab para sahabat, “Ya, menyusut.” Maka Beliaupun melarangnya. (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1352, ‘Aunul Ma’bud IX: 211 no: 3343, Ibnu Majah II: 761 no: 2264, Nasa’i VII: 269 dan Tirmidzi II: 348 no: 1243).
Dan, tidak sah jual beli barang ribawi dengan yang sejenisnya sementara keduanya atau salah satunya mengandung unsur lain.
Riwayat Fadhalah bin Ubaid yang menjadi landasan kesimpulan ini dimuat juga dalam Mukhtashar Nailul Authar hadits no: 2904. Imam Asy-Syaukani, memberi komentar sebagai berikut, “Hadits ini menunjukkan bahwa tidak boleh menjual emas yang mengandung unsur lainnya dengan emas murni hingga unsur lain itu dipisahkan agar diketahui ukuran emasnya, demikian juga perak dan semua jenis barang ribawi lainnya, karena ada kesamaan illat, yaitu haram menjual satu jenis barang dengan sejenisnya secara berlebih.”
Dari Fadhalah bin Ubaid ia berkata: “Pada waktu perang Khaibar aku pernah membeli sebuah kalung seharga dua belas Dinar sedang dalam perhiasan itu ada emas dan permata, kemudian aku pisahkan, lalu kudapatkan padanya lebih dari dua belas Dinar, kemudian hal itu kusampaikan kepada Nabi saw, Maka Beliau bersabda, ‘Kalung itu tidak boleh dijual hingga dipisahkan.’” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1356, Muslim III: 1213 no: 90 dan 1591, Tirmidzi II: 363 no: 1273, ‘Aunul Ma’bud IX: 202 no: 3336 dan Nasa’i VII: 279).

 
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 668 - 676.

Rabu, 18 April 2012

Sifat-sifat Orang Munafik
Dalam setiap generasi sepanjang zaman, di dalamnya tidak akan terlepas dari adanya orang-orang munafik dengan model yang berbeda-beda di setiap zamannya. Walaupun orang munafik zaman dahulu dengan munafik zaman sekarang dipisahkan oleh rentang waktu yang jauh, namun pada hakekatnya sangatlah dekat kesamaan mereka. Mereka berbeda zaman tetapi sama dan serupa sifat kemunafikan mereka, yaitu menampakkan sesuatu yang berlawanan dengan hatinya. Pada hati mereka terpendam sisi gelap berupa kekufuran, keraguan dan kerusakan terhadap Islam, tetapi badan mereka berada di sisi lain, yaitu kepura-puraan. Mereka membagus-baguskan perbuatan dan berlagak baik di hadapan lawan mereka yang sedang berkuasa dan mempunyai kekuatan. Di balik kepura-puraan ini mereka bernafsu untuk mendapatkan harta dunia walaupun tidak seberapa. Mereka rela menjual agama mereka dengan imbalan dunia, mereka mengaku beriman padahal dalam hatinya tersembunyi sebuah kekufuran. Allah ta'ala berfirman,

"Katakanlah: "Amat jahat perbuatan yang telah diperintahkan imanmu kepadamu jika betul kamu beriman (kepada Taurat)." (al-Baqarah: 93)

Orang munafik mungkin ada di sekitar kita, dengan berbagai baju kebohongannya. Ada orang munafik tetapi bicaranya sangat sopan dan santun, ada juga yang perkataannya berisi keburukan, atau bahkan ada yang menjadi tokoh di masyarakat kita yang jika dia dimintai jawaban dari suatu masalah dia akan menjawab dengan jawaban yang sesat lagi menyesatkan.

Maka, pada tulisan ini kita akan sedikit membahas tentang sifat-sifat orang munafik yang memang dari pendahulunya mereka sudah menghalangi dakwah para Nabi dan menggerogoti keimanan para pengikutnya.

Di antara sifat-sifat orang munafik yaitu:

1. Tidak mau menerima hukum Allah padahal mereka mengaku beriman.

Kepatuhan terhadap hukum Allah mengharuskan adanya kebersihan dan kesucian hati dalam berserah diri untuk menerima hikmah Allah, sekaligus membersihkan hati dari hawa nafsu yang akan mudah dirasuki kemunafikan. Oleh karena itulah mengapa orang-orang munafik sangat sulit untuk berserah diri kepada Allah untuk menerima hukum-hukum yang ditetapkan, bahkan mereka dengan berani mengaku beriman dan ta'at.

Allah ta'ala berfirman mensifati orang-orang munafik,

"Dan mereka berkata: "Kami telah beriman kepada Allah dan rasul, dan kami mentaati (keduanya)." Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang." (an-Nuur: 47,48)

Allah juga menggambarkan kerusakan hati mereka sehingga tidak mau melaksanakan hukum Allah kecuali jika hal itu mendatangkan kemaslahatan dan keuntungan duniawi bagi mereka,

"Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada rasul dengan patuh. Apakah (ketidak datangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang zalim." (an-Nuur: 49-50)
Sebaliknya Allah juga menggambarkan sifat orang beriman yang jauh berbeda dengan orang munafik, Allah berfirman,

"Sesungguhnya jawaban oran-orang mu'min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh". Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan ." (an-Nuur: 51, 52)

Orang-orang munafik seperti ini disamping tidak mau menerima hukum Allah, sebaliknya mereka justru menerima dan menjalankan hukum-hukum wadh'i hasil buatan manusia. Mereka lebih menyukai dan mengutamakan hukum wadh'i dari pada hukum Allah ta'ala, padahal mereka mengaku sebagai orang Islam yang beriman secara dhohirnya. Allah ta'ala berfirman,

"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut , padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka : "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu." (an-Nisa': 60, 61)

Orang munafik melakukan semua ini karena pada hakekatnya tidak ada keimanan yang sesungguhnya di hati mereka, sebagaimana firman Allah ta'ala,

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (an-Nisa': 65)

Seandainya saja pada hati mereka sudah ada keimanan yang sesungguhnya, niscaya mereka tidak akan berhukum dengan hukum-hukum jahiliyah tersebut. Allah berfirman,

"Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?" (al-Ma'idah: 50)

2. Menyerukan pemisahan agama dari kehidupan dunia (sekulerisme)

Di antara sifat orang munafik, selain tidak mau menerima hukum Allah mereka juga mengabaikan penerapan syari'at dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, syari'at Islam mengandung segala aturan kehidupan yang berfungsi menegakkan kebenaran dan keadilan yang bersumber langsung dari wahyu ilahi, sehingga tujuan utama dari syari'at Islam adalah untuk menjaga kemaslahatan manusia dengan mengatur kehidupan dunia berdasarkan aturan agama. Justru dengan syari'at Islam maka kehidupan seluruh makhluk di dunia ini akan menjadi baik, kecuali jika hati orang-orang munafik telah tertutupi dengan cinta dunia sehingga enggan menerapkan syari'at yang mulia ini.

Lihatlah bagai mana Nabi Syu'aib yang ingin memperbaiki kehidupan kaumnya dengan menunjukkan jalan kebenaran kepada mereka,

"Dan Syu'aib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan. Sisa (keuntungan) dari Allah adalah lebih baik bagimu jika kamu orang-orang yang beriman. Dan aku bukanlah seorang penjaga atas dirimu" (Huud: 85, 86)

Orang-orang munafik sangat gencar menyerukan sekularisasi, yaitu memisahkan urusan agama, aqidah atau sholat dengan kehidupan dan pekerjaan. Allah ta'ala berfirman,

"Mereka berkata: "Hai Syu'aib, apakah sembahyangmu menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal ." (Huud: 87)

Seakan-akan mereka (kaum Nabi Syu'aib) menganggap dakwah Nabi Syu'aib yang mengajak untuk memperbaiki kehidupan dunia dengan agama dan hukum-hukum Allah bukanlah petunjuk yang baik sehingga mereka mendustakannya. Padahal kehidupan dunia ini tidak akan lurus tanpa cahaya Allah dan harapan terhadap ridho-Nya. Allah ta'ala berfirman,

"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (al-A'raf: 96)

Bahkan mereka menjadi hamba dunia yang selalu tamak terhadap harta-harta semu di dunia ini.

3. Berpaling dari dzikrullah (mengingat Allah)

Alangkah sempitnya dada orang munafik untuk segala hal yang bisa mengingatkan mereka kepada Allah, kepada kebaikan dan kepada dakwah. Allah ta'ala berfirman,

"Ingatlah, sesungguhnya (orang munafik itu) memalingkan dada mereka untuk menyembunyikan diri daripadanya (Muhammad) . Ingatlah, di waktu mereka menyelimuti dirinya dengan kain, Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan dan apa yang mereka lahirkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati." (Huud: 5)

Nabi Nuh 'alaihissalam ketika berdakwah kepada kaumnya, beliau tidak mendapatkan respon kecuali seluruh kaumnya menolak dan berpaling dari dakwah beliau. Sebagaimana dalam firman Allah ta'ala,

"Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (kemukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat." (Nuuh: 7)

Pada hakekatnya, sifat enggan orang munafik ini sumbernya adalah rasa kebencian yang mendalam terhadap ayat-ayat Allah sampai-sampai mereka berani menyerang orang yang membacakan ayat-ayat Allah karena begitu bencinya mereka terhadap ayat-ayat-Nya. Allah ta'ala berfirman,

"Dan apabila dibacakan di hadapan mereka ayat-ayat Kami yang terang, niscaya kamu melihat tanda-tanda keingkaran pada muka orang-orang yang kafir itu. Hampir-hampir mereka menyerang orang-orang yang membacakan ayat-ayat Kami di hadapan mereka. Katakanlah: "Apakah akan aku kabarkan kepadamu yang lebih buruk daripada itu, yaitu neraka?" Allah telah mengancamkannya kepada orang-orang yang kafir. Dan neraka itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali." (Al-Hajj: 72)

Oleh karena itu, tidak asing lagi jika orang munafik serasa seperti kejang jika mendengar ayat-ayat Allah karena begitu besar keengganan mereka terhadap segala hal berbau tauhid, dakwah dan kebenaran. Allah berfirman,

"Dan apabila hanya nama Allah saja disebut, kesallah hati orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat; dan apabila nama sembahan-sembahan selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka bergirang hati." (az-Zumar: 45)

Dan bagi orang-orang semacam mereka ini hanyalah penderitaan dan kesempitan dalam dien. Allah berfirman,

"Dan orang-orang yang kafir, maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menyesatkan amal-amal mereka. Yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al Quraan) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka." (Muhammad: 8-9)

Amal-amal mereka akan terhapus sia-sia sekaligus mendapatkan adzab yang sangat pedih di akhirat, Allah berfirman,

"Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila malaikat mencabut nyawa mereka seraya memukul-mukul muka mereka dan punggung mereka? Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan karena mereka membenci keridhaan-Nya, sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka." (Muhammad: 27-28)
4. Adab yang buruk terhadap Allah dan Rasul-Nya

Mengagungkan Allah berserta semua syari'at-Nya merupakan bentuk ketakwaan hati yang tidak dimiliki oleh orang munafik. Sebagaimana yang kita ketahui, orang munafik sangat buruk adabnya terhadap Allah dan syari'at-Nya, dengan menolak hukum-hukum Allah dan enggan hal-hal yang mengajak untuk mengingatkan diri kepada Allah. Perkataan mereka terhadap Allah sangatlah buruk dan keji sebagaimana yang dilakukan oleh pendahulu mereka yang sama jeleknya, kaum Yahudi yang dengan lantang berkata tentang Allah perkataan yang keji, sebagaimana firman Allah,

"Sesungguhnya Allah telah mendengar perkatan orang-orang yang mengatakan: "Sesunguhnya Allah miskin dan kami kaya". Kami akan mencatat perkataan mereka itu dan perbuatan mereka membunuh nabi-nabi tanpa alasan yang benar, dan Kami akan mengatakan (kepada mereka): "Rasakanlah olehmu azab yang membakar." (Ali Imron: 181)
Dan firman Allah,

"Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu" , sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dila'nat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka. Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. Dan Al Qur'an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka." (al-Ma'idah: 64)

Beginilah sifat orang munafik, bahkan mereka berbicara tentang Allah dengan perkataan yang sungguh tidak pantas, Allah berfirman,

"Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: "Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya) surat ini?" Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit , maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, disamping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir." (at-Taubah: 124-125)

Begitu juga mereka berbicara tentang Rasulullah perkataan yang tidak sungguh tidak pantas ditujukan pada seorang nabi mulia, Allah berfirman,

"Di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan: 'Nabi mempercayai semua apa yang didengarnya.'" (at-Taubah: 61)

Orang munafik menghina dan merendahkan Nabi Muhammad dengan mengatakan bahwa Nabi Muhammad selalu mempercayai apa saja yang didengarnya. Pada ayat selanjutnya Allah membantah dengan firman-Nya,

"Katakanlah: 'Ia mempercayai semua yang baik bagi kamu, ia beriman kepada Allah, mempercayai orang-orang mu'min, dan menjadi rahmat bagi orang-orang yang beriman di antara kamu.'" (at-Taubah: 61)
Bahkan Allah ta'ala mengancam dengan siksaan yang pedih kepada siapa saja yang menyakiti Rasulullah saw., Allah berfirman,

"Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka azab yang pedih." (at-Taubah: 61)

Selain itu, terkadang orang-orang munafik juga sangat buruk adabnya terhadap orang-orang mukmin dan sholeh. Mereka selalu berusaha untuk menyakiti dan menghina orang beriman. Sebagaimana firman Allah ta'ala,

"Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja." (at-Taubah: 65)
Bagaimanapun masalah ini sungguh tidak pantas untuk dijadikan senda gurau. Pada hakekatnya, senda gurau yang dilakukan orang-orang munafik ini bertujuan untuk merendahkan dan menghina agama Allah, karena mereka menghina orang-orang mukmin yang membawa agama Allah. Allah ta'ala berfirman,

"Katakanlah: 'Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?' Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa." (at-Taubah: 65-66)

5. Dari perkataan mereka dapat diketahui adanya permusuhan mereka terhadap Allah dan wali-wali-Nya.

Ketika hati orang-orang munafik telah dipenuhi kedengkian terhadap orang mukmin, dan hati mereka sudah tertutupi dengan permusuhan terhadap orang mukmin, maka mereka akan berusaha melampiaskan kebencian yang terpendam dalam hati mereka, lisan-lisan mereka pun menjadi lancar melontarkan kata-kata kebencian yang telah lama mereka pendam terhadap orang mukmin. Allah ta'ala berfirman,

"Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya." (Ali Imron: 118)
Walaupun orang-orang munafik berusaha sekuat tenaga menutup-nutupi rasa dengki dan benci mereka dengan menampakkan hal-hal yang baik, tetapi Allah tetap akan menampakkan kejahatan yang mereka sembunyikan itu. Allah berfirman,

"Atau apakah orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya mengira bahwa Allah tidak akan menampakkan kedengkian mereka ?" (Muhammad: 29)

Maka, orang-orang yang berilmu niscaya akan mengetahui kemunafikan mereka dari perkataan, gaya bahasa dan cara mereka berbicara. Allah berfirman,

"Dan kalau Kami kehendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kamu." (Muhammad: 30)

6. Selalu membuat kekacauan dan tidak memiliki andil ketika negara dilanda kesulitan.

Orang-orang munafik adalah hamba dunia, yang selalu berkeinginan mengeruk keuntungan duniawi. Mereka tidak mengenal tolong menolong, tidak mempunyai kemurahan hati, tidak rela berkorban demi agama dan negaranya.

Jangan kalian kira bahwa orang-orang munafik yang lemah imannya semacam mereka akan bersegera menjawab panggilan jihad layaknya para syuhada'. Jangan kalian tunggu janji mereka untuk berperang karena mereka hanyalah pengecut. Dan janji mereka terhadap Allah untuk menolong agama ini hanyalah palsu belaka. Allah ta'ala berfirman,

"Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata :'Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya'. Dan (ingatlah) ketika segolongan di antara mreka berkata: "Hai penduduk Yatsrib (Madinah), tidak ada tempat bagimu, maka kembalilah kamu'. Dan sebahagian dari mereka minta izin kepada Nabi (untuk kembali pulang) dengan berkata : 'Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga)'. Dan rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak lain hanya hendak lari." (al-Ahzab: 12-12)

Bahkan, ketika disebutkan rencana berperang saja mereka sudah sangat ketakutan seakan-akan akan ditimpa kehancuran dan kematian. Allah ta'ala berfirman,

"Mereka mengira (bahwa) golongan-golongan yang bersekutu itu belum pergi; dan jika golongan-golongan yang bersekutu itu datang kembali, niscaya mereka ingin berada di dusun-dusun bersama-sama orang Arab Badwi, sambil menanya-nanyakan tentang berita-beritamu. Dan sekiranya mereka berada bersama kamu, mereka tidak akan berperang, melainkan sebentar saja." (Muhammad: 20)

Begitulah sifat-sifat orang munafik, walaupun sifat buruk mereka jauh lebih banyak dari pada yang telah disebutkan di atas. Maka sangat mengherangkan jika masih saja ada orang yang mengangkat mereka menjadi wali-wali atau pemimpin-pemimpin. Sungguh Allah telah menjelaskan sifat-sifat mereka dengan gamblang... Hanya kepada Allah lah kita mengadu..

(Artikel ini diterjemahkan dari situs ar.islamway.com )