Rabu, 04 April 2012

Kandungan Bab:
Seorang pembunuh tidak menerima warisan (dari orang yang dibunuhnya).
At-Tirmidzi berkata, "Inilah yang diamalkan di kalangan ahli ilmu yaitu seroang pembunuh tidak menerima warisan baik ia membunuh dengan sengaja ataupun tidak sengaja."
Sebagian ulama mengatakan, "Jika ia membunuh tanpa kesengajaan maka ia boleh meneriwa warisan. Ini adalah pendapat Malik."
Al-Baghawi berkata dalam Syarah SUnnah (8/3670), "Inilah yang diamalkan oleh mayoritas ahli ilmu bahwasanya orang yang membunuh ahli warisnya tidak menerima warisan darinya. Baik ia membunuh dengan sengaja ataupun tidak sengaja. Baik yang membunuh itu anak kecil, orang gila, ataupun orang dewasa yang berakal."
Dan kesimpulannya, setiap pembunuhan mewajibkan qisas, diyat, ataupun kafarah yang menghalanginya dari menerima warisan.
Dan sebagian ulama yang lain mengatakan, "Pembunuhan tidak sengaja tidak menghalangi seseorang menerima warisan." Ini adalah pendapat Malik. Karena orang yagn membunuh tidaklah tertuduh. Hanya saja ia tidak mewarisi harta diyat sedikitpun. Ini adalah pendapat al-Hakam, Atha', dan az-Zuhri. Sebagian mengatakan, "Ia meneriwa warisan dari harta diyat dan yang selainnya." Sebagian lagi mengatakan, "Pembunuhan yang dilakukan oleh seorang anak kecil tidak menghalanginya dari menerima warisan. Dan ini adalah pendapat Abu Hurairah r.a."
Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid r.a. bahwasanya Nabi saw. bersabda, "Seorang muslim tidak mewarisi seorang kafir dan seorang kafir tidak mewarisi seorang muslim," (HR Bukhari [6764] dan Muslim [1614]).
Dalam bab ini terdapat hadits dari Abdullah bin Umr, Jabir, Dan Abdullah bin Abbas r.a.
Kandungan Bab:
  1. Perbedaan agama merupakan penghalang hak pewarisan. Dan barangsiapa membolehkan seorang muslim menerima warisan dari ahlul kitab dan mengkiyaskan dengan bolehnya menikahi ahli kitab, maka ini adalah qiyas yang salah dan bertentangan dengan nash.
  2. Jika seorang kafir masuk Islam sebelum dibagikannya warisan, maka ia tidak menerima warisan. Karena warisan berhak dimiliki dengan kematian orang yang mewariskan. Sedangkan ketika itu ia masih kafir. Dengan demikian saat itu ada penghalang yang menghalanginya untuk menerima warisan. Bentuk masalahnya adalah jika seorang meninggal dunia sedangkan ia meninggalkan dua orang anak, seorang muslim dan seorang kafir. Lalu anak yang kafir tersebut masuk Islam sebelum harta warisan dibagikan.
  3. Dua orang yang berlainan agama tidak saling mewarisi meskipun keduanya kafir.
    Asy-Syaukani berkata dalam kitabnya Nailul Authar (6/194), "Dan kesimpulannya hadits-hadits bab memutuskan bahwa seorang muslim tidak mewarisi dari seorang kafir, baik kafir harbi, dzimmi, ataupun murtad. Tidak boleh dikhususkan darinya kecuali dengan dalil."
    Zhahir dari ucapan beliau, "Dua orang yang berlainan agama tidak saling mewarisi." adalah seorang pemeluk agama kafir dari pemeluk agama kafir yang lain. Ini yang dikatakan oleh al-Auza'i, Malik, Ahmad, dan al-Hadawiyah. Adapun jumhur membawakan maksud dua millah di sini adalah Islam dan Kafir. Tidak samar lagi jauhnya pendapat itu. Adapun dalam masalah hak warisan seorang yang murtad terdapat pendapat-pendapat lain selain yang kami sebutkan di atas.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 3/445-453.