Etika terhadap Orang Tua
Dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi
Orang Muslim meyakini hak kedua orang tua terhadap dirinya, kewajiban
berbakti, taat, dan berbuat baik kepada keduanya. Tidak karena keduanya
penyebab keberadaannya atau karena keduanya memberikan banyak hal
kepadanya hingga ia harus berbalas budi kepada keduanya. Tetapi, karena
Allah Azza wa Jalla mewajibkan taat, menyuruh berbakti, dan berbuat baik
kepada keduanya.
Bahkan, Allah Ta‘ala mengaitkan hak orang tua tersebut dengan hak-Nya
yang berupa penyembahan kepada Diri-Nya dan tidak kepada yang lain.
Allah Azza wa Jalla berfirman, "Dan Tuhanmu telah memerintahkan
supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik
pada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara
keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
‘ah' dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia." (Al-Isra': 23).
Allah SWT berfirman, "Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat
baik) kepada dua orang ibu-bapanya, ibunya telah mengandungnya dalam
keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Kulah kembalimu." (Luqman: 14).
Seseorang yang bertanya kepada Rasulullah saw., "Siapakah orang yang
berhak mendapatkan pergaulanku yang baik?" Rasulullah saw. bersabda, "Ibumu." Orang tersebut bertanya lagi, "Siapa lagi?" Rasulullah saw. bersabda, "Ibumu." Orang tersebut bertanya lagi, "Siapa lagi?" Rasuluilah saw., "Ibumu." Orang tersebut berlanya lagi, "Siapa lagi?" Rasulullah saw. bersabda, "Ayahmu."
Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya Allah mengharamkan atas
kalian durhaka kepada kedua orang tua, menahan hak, dan mengubur hidup
anak perempuan. Allah membenci untuk kalian gosip, banyak bertanya, dan
menyia-nyiakan harta." (Muttafaq Alaih).
Rasulullah saw. bersabda, "Maukah kalian aku jelaskan tentang dosa yang paling besar?" Para sahabat menjawab, "Mau, wahai Rasulullah." Rasulullah saw. bersabda, "Menyekutukan Allah, dan durhaka kepada kedua orang tua." Ketika itu, Rasulullah saw. bersandar, kemudian beliau duduk, dan bersabda, "Ketahuilah (setelah itu ialah berkata bohong, dan kesaksian palsu). Ketahuilah, berkata bohong, dan kesaksiaan palsu." Rasulullah
saw. terus-menerus mengatakan kalimat terakhir, hingga Abu Bakar
berkata, "Ah, seandainya Rasulullah saw. diam tidak mengatakan secara
terus-menerus kalimat terakhir." (Muttafaq Alaih).
Rasulullah saw. bersabda, "Seorang anak tidak bisa membalas ayahnya,
kecuali ia menemukan ayahnya menjadi budak, kemudian ia membelinya, dan
memerdekakannya." (Muttafaq Alaih).
Abdullah bin Mas'ud ra berkata, Aku pernah bertanya kepada Rasulullah
saw., ‘Amal apakah yang paling dicintai Allah Ta‘ala?' Rasulullah saw.
bersabda, "Shalat di awal waktu." Aku bertanya, ‘Kemudian amalan apa lagi?' Rasulullah saw. bersabda, "Berbakti kepada kedua orang tua." Aku bertanya lagi, ‘Kemudian amalan apa lagi?' Rasulullah saw. bersabda, "Jihad di jalan Allah." (HR Muslim).
Salah seorang sahabat datang kepada Rasulullah saw. untuk meminta izin berjihad, kemudian beliau bertanya, "Apakah kedua orang tuamu masih hidup?" Sahabat tersebut menjawab, "Ya, keduanya masih hidup." Rasulullah saw. bersabda, "Mintalah izin kepada keduanya, kemudian berjihadlah." (Muttafaq Alaih).
Salah seorang dan kaum Anshar datang kepada Rasulullah saw., kemudian
berkata, "Wahai Rasulullah, apakah aku masih mempunyai kewajiban bakti
kepada orang tua yang harus aku kerjakan setelah kematian keduanya?"
Rasulullah saw. bersabda, "Ya ada, yaitu empat hal: mendoakan
keduanya, memintakan ampunan untuk keduanya, melaksanakan janji
keduanya, memuliakan teman-teman keduanya, dan menyambung sanak famili
di mana engkau tidak mempunyai hubungan kekerabatan kecuali dari jalur
keduanya. Itulah bentuk bakti engkau kepada keduanya setelah kematian
keduanya." (HR Abu Daud).
Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya bakti terbaik ialah
hendaknya seorang anak tetap menyambung hubungan keluarga ayahnya
setelah ayahnya menyambungnya." (HR Muslim).
Setelah orang Muslim mengetahui hak kedua orang tua atas dirinya, dan
menunaikannya dengan sempurna karena mentaati Allah Ta'ala, dan
merealisir wasiat-Nya, maka juga menjaga etika-etika berikut ini
terhadap kedua orang tuanya:
1. Taat kepada kedua orang tua dalam semua perintah dan larangan
keduanya, selama di dalamnya tidak terdapat kemaksiatan kepada Allah dan
pelanggaran terhadap syariat-Nya. Karena, manusia tidak berkewajiban
taat kepada manusia sesamanya dalam bermaksiat kepada Allah, berdasarkan
dalil-dalil berikut:
Firman Allah Ta‘ala, "Dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang
itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di
dunia dengan baik." (Luqman: 15).
Sabda Rasulullah saw., "Sesungguhnya ketaatan itu hanya ada dalam kebaikan." (Muttafaq ‘Alaih).
Sabda Rasulullah saw., "Tidak ada kewajiban ketaatan bagi manusia dalam maksiat kepada Allah."
2. Hormat dan menghargai kepada keduanya, merendahkan suara dan
memuliakan keduanya dengan perkataan dan perbuatan yang baik, tidak
menghardik dan tidak mengangkat suara di atas suara keduanya, tidak
berjalan di depan keduanya, tidak mendahulukan istri dan anak atas
keduanya, tidak memanggil keduanya dengan namanya namun memanggil
keduanya dengan panggilan, "Ayah, ibu," dan tidak bepergian kecuali
dengan izin dan kerelaan keduanya.
3. Berbakti kepada keduanya dengan apa saja yang mampu ia kerjakan,
dan sesuai dengan kemampuannya, seperti memberi makan pakaian kepada
keduanya, mengobati penyakit keduanya, menghilangkan madzarat dari
keduanya, dan mengalah untuk kebaikan keduanya.
4. Menyambung hubungan kekerabatan dimana ia tidak mempunyai hubungan
kekerabatan kecuali dan jalur kedua orang tuanya, mendoakan dan
memintakan ampunan untuk keduanya, melaksanakan janji (wasiat), dan
memuliakan teman keduanya.
Sumber: Diadaptasi dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaajul Muslim, atau Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, terj. Fadhli Bahri (Darul Falah, 2002), hlm. 131-135.