Bab Hukuman Zina
1. PENGERTIAN ZINA
Dalam al-Mu’jamul Wasith hal 403 disebutkan,
“Zina ialah seseorang
bercampur dengan seorang wanita tanpa melalui akad yang sesuai dengan
syar’i.”
2. HUKUM ZINA
Zina adalah haram hukumnya, dan ia termasuk dosa besar yang paling besar.
Allah swt berfirman:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS al-Israa’: 32)
Dari Abdullah bin Mas’ud r.a, ia berkata: Saya pernah bertanya kepada
Rasulullah saw, “(Ya Rasulullah), dosa apa yang paling besar?” Jawab Beliau,
“Yaitu engkau mengangkat tuhan tandingan bagi Allah, padahal Dialah yang
telah menciptakanmu.” Lalu saya bertanya (lagi), “Kemudian apa lagi?” Jawab
Beliau,
“Engkau membunuh anakmu karena khawatir ia makan denganmu.”
Kemudian saya bertanya (lagi). “Lalu apa lagi?” Jawab Beliau,
“Engkau berzina
dengan isteri tetanggamu.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 114 No.
6811, Muslim I: 90 No. 86, ‘Aunul Ma’bud VI: 422 No. 2293 No. Tirmidzi V: 17 No.
3232).
Allah swt berfirman:
“Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan
tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan)
yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu,
niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab
untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan
terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh;
Maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Furqaan: 68-70).
Dalam hadist Sumarah bin Jundab yang panjang tentang mimpi Nabi saw, Beliau
saw bersabda:
“Kemudian kami berjalan dan sampai kepada suatu bangunan serupa tungku api
dan di situ kedengaran suara hiruk-pikuk. Lalu kami tengok ke dalam, ternyata di
situ ada beberapa laki-laki dan perempuan yang telanjang bulat. Dari bawah
mereka datang kobaran api dan apabila kena nyala api itu, mereka memekik. Aku
bertanya, “Siapakah orang itu” Jawabnya, “Adapun sejumlah laki-laki dan
perempuan yang telanjang bulat yang berada di dalam bangunan serupa tungku
api itu adalah para pezina laki-laki dan perempuan.” (Shahih: Shahihul
Jami’us Shaghir no: 3462 dan Fathul Bari XII: 438 no: 7047).
Dari Ibnu Abbas r.a bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Tidaklah seorang
hamba berzina tatkala ia sebagai seorang mu’min; dan tidaklah ia mencuri,
manakala tatkala ia mencuri sebagai seorang beriman; dan tidaklah ia meneguk
arak ketikaia meneguknya sebagai seorang beriman; dan tidaklah ia membunuh
(orang tak berdosa), manakala ia membunuh sebagai seorang beriman.”
Dalam lanjutan riwayat di atas disebutkan:
Ikrimah berkata, “Saya bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Bagaimana cara
tercabutnya iman darinya?’ Jawab Ibnu Abbas: ‘Begini –ia mencengkeram tangan
kanan pada tangan kirinya dan sebaliknya, kemudian ia melepas lagi–, lalu
manakala dia bertaubat, maka iman kembali (lagi) kepadanya begini –ia
mencengkeramkan tangan kanan pada tangan kirinya (lagi) dan sebaliknya-.’”
(Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 7708, Fathul Bari XII: 114 no: 6809 dan
Nasa’i VIII: 63).
3. KLASIFIKASI ORANG BERZINA
Orang yang berzina adakalanya
bikr atau
ghairu
muhshan (Perawan atau lajang (untuk perempuan) dan perjaka atau bujang
(untuk laki-laki)), atau adakalanya
muhshan (orang yang sudah
beristeri atau bersuami).
Jika yang berzina adalah orang merdeka,
muhshan,
mukallaf dan
tanpa paksaan dari siapa pun, maka hukumannya adalah harus dirajam hingga
mati.
Muhshan ialah orang yang pernah melakukan jima’ melalui akad nikah
yang shahih. Sedangkan
mukallaf ialah orang yang sudah mencapai usia akil
baligh. Oleh sebab itu, anak dan orang gila tidak usah dijatuhi hukuman.
Berdasarkan hadist “RUFI’AL QALAM ’AN TSALATSATIN (=diangkat pena dari tiga
golongan)”.
Dari Jabir bin Abdullah al-Anshari ra bahwa ada seorang laki-laki dari daerah
Aslam datang kepada Nabi saw lalu mengatakan kepada Beliau bahwa dirinya
benar-benar telah berzina, lantas ia mepersaksikan atas dirinya (dengan
mengucapkan) empat kali sumpah. Maka kemudian Rasulullah saw menyuruh (para
sahabat agar mempersiapkannya untuk dirajam), lalu setelah siap, dirajam. Dan ia
adalah orang yang sudah pernah nikah. (Shahih: Shahih Abu Daud no: 3725,
Tirmidzi II: 441 no: 1454 dan A’unul Ma’bud XII: 112 no: 4407).
Dari Ibnu Abbas r.a bahwa Umar bin Khattab ra pernah berkhutbah di hadapan
rakyatnya, yaitu dia berkata, “Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad saw
dengan cara yang haq dan Dia telah menurunkan kepadanya kitab al-Qur’an. Di
antara ayat Qur’an yang diturunkan Allah ialah ayat rajam, kami telah
membacanya, merenungkannya dan menghafalkannya. Rasulullah saw pernah merajam
dan kami pun sepeninggal Beliau merajam (juga). Saya khawatir jika zaman yang
dilalui orang-orang sudah berjalan lama, ada seseorang mengatakan, “Wallahi,
kami tidak menjumpai ayat rajam dalam Kitabullah.” Sehingga mereka tersesat
disebabkan meninggalkan kewajiban yang diturunkan Allah itu, padahal ayat rajam
termaktub dalam Kitabullah yang mesti dikenakan kepada orang yang berzina yang
sudah pernah menikah, baik laki-laki maupun perempuan, jika bukti sudah jelas,
atau hamil atau ada pengakuan.” (Mutafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 144 no:
6830, Muslim III: 1317 no 1691, ‘Aunul Ma’bud XII: 97 no: 4395, Tirmidzi II: 442
no: 1456).
4. HUKUMAN BUDAK YANG BERZINA
Apabila yang berzina adalah budak laki-laki ataupun perempuan, maka tidak
perlu dirajam. Tetapi cukup didera sebanyak lima puluh kali deraan, sebagaimana
yang ditegaskan firman Allah swt:
“Dan apabila mereka Telah menjaga diri dengan kawin, Kemudian mereka
melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari
hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.” (QS An-Nisaa: 25)
Dari Abdullah bin Ayyasy al-Makhzumi, ia berkata, “Saya pernah diperintah
Umar bin Khattab ra (melaksanakan hukum cambuk) pada sejumlah budak perempuan
karena berzina, lima puluh kali, lima puluh kali cambukan.” (Hasan: Irwa-ul
Ghalil no: 2345, Muwaththa‘ Malik hal 594 no: 1058 dan Baihaqi VIII: 242)
5. ORANG YANG DIPAKSA BERZINA TIDAK BOLEH DIDERA
Dari Abu Abdurahhman as-Silmi ia berkata: “Umar bin Khatab ra pernah
dibawakan seorang perempuan yang pernah ditimpa haus dahaga luar biasa, lalu ia
melewati seorang penggembala, lantas ia minta air minum kepadanya. Sang
penggembala enggan memberikan air minum, kecuali ia menyerahkan kehormatannya
kepada seorang penggembala. Kemudian terpaksa ia melaksanakannya. Maka (Umar)
pun bermusyawarah dengan para sahabat untuk merajam perempuan itu, kemudian Ali
ra menyatakan, ‘Ini dalam kondisi darurat, maka saya berpendapat hendaklah
engkau melepaskannya.’ Kemudian Umar melaksanakannya.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil
no: 2313 dan Baihaqi VIII: 236).
6. HUKUMAN BIKR (PERAWAN ATAU PERJAKA) YANG BERZINA
Allah swt berfirman:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang
berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan
janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama
Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang
beriman.” (QS An-Nuur: 2).
Dari Zaid bin Khalid-al-Juhanni ra, ia berkata, “Saya pernah mendengar Nabi
saw mnyuruh orang yang berzina yang belum pernah kawin didera seratus kali dan
diasingkan selama setahun.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2347 dan Fathul Bari
XII: 156 no: 6831)
Dari Ubadah bin Shamit ra bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Ambillah dariku,
ambillah dariku; sungguh Allah telah menjadikan jalan (keluar) untuk mereka;
gadis (berzina) dengan jejaka dicambuk seratus kali cambukan dan diasingkan
setahun, dan duda berzina dengan janda didera seratus kali didera dan
dirajam.” (Shahih: Mukthashar Muslim no: 1036, Muslim III: 1316 no: 1690,
’Aunul Ma’bud XII: 93 no: 4392, Tirmidzi II: 445 no: 1461 dan Ibnu Majah II: 852
no: 2550).
7. DENGAN APA HUKUM HAD SAH DILAKSANAKAN?
Hukum had dianggap sah dilaksanakan dengan dua hal: pertama, pengakuan dan
kedua, disaksikan oleh para saksi. (Fiqhus Sunnah III: 352).
Adapun pengakuan, didasarkan pada waktu Rasulullah saw yang pernah merajam
Ma’iz dan perempuan al-Ghamidiyah yang keduanya mengaku telah berzina:
Dari Ibnu Abbas ra. berkata, “Tatkala Ma’iz bin Malik dibawa kepada Nabi saw,
maka Beliau bertanya kepadanya, “Barangkali engkau hanya mencium(nya) atau
meraba(nya) dengan tanganmu atau sekedar melihat(nya)?” Jawabnya, “Tidak, ya
Rasulullah.” Tanya Beliau (lagi), “Apakah engkau telah melakukan sesuatu yang
tidak layak diutarakan dengan terus terang?” Maka ketika itu, Beliau menyuruh
merajamnya.” (Shahih: Shahih Abu Daud no: 3724, Fathul Bari XII: 135 no: 6824
dan ‘Aunul Ma’bud XII: 109 no: 4404)
Dari Sulaiman bin Buraidah dari bapaknya ra bahwa seorang perempuan dari
daerah Ghamid dari suku al-Azd datang kepada Nabi saw lalu mengatakan, “Ya
Rasulullah, sucikanlah diriku!” Maka sabda Beliau,
“Celaka kamu. Kembalilah,
lalu beristighfarlah dan bertaubatlah kepada-Nya!” Kemudian ia berkata
(lagi), “Saya melihat engkau hendak menolakku, sebagaimana engkau telah menolak
Ma’iz bin Malik.” Beliau bertanya kepadanya,
“Apa itu?” Jawabnya,
“Sesungguhnya saya telah hamil karena berzina.” Tanya Beliau. “Kamu?” Jawabnya,
“Ya.” Maka sabda Beliau kepadanya,
“(Pulanglah) hingga engkau melahirkan
(bayi) yang di perutmu.” Kemudian ada seseorang sahabat dari kawan Anshar
yang mengurusnya hingga ia melahirkan bayinya, lalu ia data kepda Nabi saw dan
menginformasikan kepada Beliau bahwa perempuan al-Ghamidiyah itu telah
melahirkan. Maka beliau bersabda, “Kalau begitu, kami tidak akan segera
merajamnya dan kami tidak akan biarkan anaknya yang masih kecil, tidak ada yang
menyusuinya.” Kemudian ada seorang sahabat Anshar bangun lantas berkata, “Ya
Nabiyullah, saya akan menanggung penyusuannya.” Kemudian Beliau pun merajamnya.
(Shahih: Mukhtashar Muslim no: 1039, Muslim III: 1321 no: 1695).
Jika yang bersangkutan ternyata meralat pengakuannya, maka tidak boleh
dijatuhi hukuman. Hal ini merujuk pada hadist Nu’aim bin Huzzal:
Adalah Ma’iz bin Balik seorang anak yatim yang dulu berada di bawah asuhan
ayahku (yaitu Huzzal), kemudian ia pernah berzina dengan seorang budak perempuan
dari suatu kampung … sampai pada perkataannya “Kemudian Nabi Saw menyuruh agar
Ma’iz dirajam. Lalu dikeluarkanlah Ma'iz ke Padang Pasir. Tatkala dirajam, ia
merasakan sakitnya lemparan batu yang menimpa dirinya, kemudian bersedih hati,
lalu ia melarikan diri dengan cepat, lantas bertemu dengan Abdullah bin Unais.
Para sahabatnya tidak mampu (menahannya). Kemudian Abdullah bin Unais mencabut
tulang betis unta, lalu dilemparkan kepadanya hingga ia meninggal dunia.
Kemudian Abdullah bin Unais datang menemui Nabi saw lalu melaporkan kasus
tersebut kepadanya, maka Rasulullah berkata kepadanya,
“Mengapa kamu tidak
biarkan ia, barangkali ia bertaubat lalu Allah menerima taubatnya.” (Shahih:
Shahih Abu Daud no. 3716, ‘Aunul Ma’bud XII: 99 no: 4396)
8. HUKUM ORANG YANG MENGAKU PERNAH BERZINA DENGAN SI FULANAH
Apabila seseorang mengaku bahwa dirinya telah berzina dengan fulanah, maka
laki-laki yang mengaku tersebut harus dijatuhi hukuman. Kemudian jika si
perempuan, rekan kencannya, mengaku juga, maka ia harus dijatuhi hukuman juga.
Jika ternyata si perempuan tidak mau mengakui, maka ia (si perempuan) tidak
boleh dijatuhi hukuman.
Dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid ra bahwa ada dua orang laki-laki yang
saling bermusuhan datang kepada nabi saw lalu seorang di antara keduanya
menyatakan, “Ya Rasulullah, putuskanlah di antara kami dengan Kitabullah!” Yang
satunya lagi --yang paling mengerti di antara mereka berdua-- berkata, “Betul,
ya Rasulullah, putuskanlah di antara kami dengan Kitabullah, dan izinkanlah saya
untuk mengutarakan sesuatu kepadamu.” Jawab Beliau, "Silakan utarakan!" Ia
melanjutkan pengutaraannya, “Sesungguhnya anakku ini adalah seorang pekerja yang
diberi upah oleh orang ini, lalu ia pun berzina dengan isterinya. Lalu
orang-orang menjelaskan kepadaku bahwa anaku harus dirajam. Oleh sebab itu, saya
telah menebusnya dengan memberikan seratus ekor kambing dan seorang budak
wanitaku. Kemudian saya pernah bertanya kepada orang-orang alim, lalu mereka
menjelaskan kepadaku bahwa anakku harus didera seratus kali dan diasingkan
selama setahun lamanya. Sedangkan rajam hanya ditimpahkan kepada isteri ini.”
Maka Rasulullah saw bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggamannya,
saya akan benar-benar memutuskan di antara kalian berdua dengan Kitabullah;
adapun kambing dan budak perempuanmu itu maka dikembalikan (lagi) kepadamu.”
Beliau pun mendera anaknya seratus kali dan mengasingkannya selama setahun. Dan
Beliau juga menyuruh Unais al-Aslam agar menemui isteri orang pertama itu; jika
ia mengaku telah berzina dengananak itu, maka harus dirajam. Ternyata ia
mengaku, lalu dirajam oleh Beliau. (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 136 no:
6827-6828, Muslim III: 1324 no: 1697-1698, ‘Aunul Ma’bud XII: 128 no: 4421,
Tirmidzi II: 443 no: 145, Ibnu Majah II: 852 no: 2549 dan Nasa’i VIII: 240).
9. HUKUM HAD HARUS DILAKSANAKAN BILA SAKSINYA KUAT
Allah swt berfirman:
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang
baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka
deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu
terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang
fasik.” (QS An-Nuur: 4)
Apabila ada empat laki-laki muslim yang merdeka lagi adil menyaksikan
dzakar (penis) si fulan masuk ke dalam
farji (vagina) si fulanah
seperti pengoles celak mata masuk ke dalam botol tempat celak, dan seperti timba
masuk ke dalam sumur, maka kedua-duanya harus dijatuhi hukuman.
Manakalah tiga saja yang mengaku menyaksikan, sedang yang keempat justru
mengundurkan diri dari kesaksian mereka, maka yang tiga orang itu harus didera
dengan dera tuduhan sebagimana yang telah dipaparkan ayat empat An-Nuur itu, dan
berdasarkan riwayat berikut:
Dari Qasamah bin Zuhair, ia bercerita: Tatkala antara Abu Bakrah dengan
al-Mughirah ada permasalahan tuduhan zina yang dilaporkan kepada Umar ra maka
kemudian Umar minta didatangkan saksi-saksinya, lalu Abu Bakrah, Syibl bin
Ma’bad, dan Abu Abdillah Nafi’ memberikan kesaksiannya. Maka Umar ra pada waktu
mereka bertiga usai memberikan kesaksiannya, berkata, "Permasalah Abu Bakrah ini
membuat Umar berada dalam posisi yang sulit." Tatkala Ziyad datang, dia berkata,
"(Hai Ziyad), jika engkau berani memberikan kesaksian, maka insya Allah tuduhan
zina itu benar." Maka kata Ziyad, "Adapun perbuatan zina, maka aku tidak
menyaksikan dia berzina. Namun aku melihat sesuatu yang buruk." Makakata Umar,
“Allahu Akbar, hukumlah mereka.” Kemudian sejumlah sahabat mendera mereka
bertiga. Kemudian Abu Bakrah seusai dicambuk oleh Umar menyatakan, “(Hai Umar),
saya bersaksi bahwa sesungguhnya dia (al-Mughirah) berzina.” Kemudian, segera
Umar ra hendak menderanya lagi, namun dicegah oleh Ali ra seraya berkata kepada
Umar, “Jika engkau menderanya lagi, maka rajamlah rekanmu itu.” Maka Umar pun
membatalkan niatnya dan tidak menderanya lagi.” (Sanadnya Shahih: Irwa-ul Ghalil
VIII: 29 dan Baihaqi VIII: 334).
10. HUKUM ORANG BERZINA DENGAN MAHRAMNYA
Barangsiapa yang berzina dengan mahramnya, maka hukumnya adalah dibunuh, baik
ia sudah pernah nikah ataupun belum. Dan apabila ia telah mengawini mahramnya,
maka hukumannya ia harus dibunuh dan hartanya harus diserahkan kepada
pemerintah.
Dari al-Bara’ ra, ia bertutur, “Saya pernah berjumpa dengan pamanku yang
sedang membawa pedang, lalu saya tanya, ‘(Wahai Pamanda), Paman hendak kemana?’
jawabnya, ‘Saya diutus oleh Rasulullah saw menemui seorang laki-laki yang telah
mengawini isteri bapaknya sesudah ia meninggal dunia, agar saya menebas batang
lehernya dan menyita harta bendanya.’” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2351, Shahih
Ibnu Majah no: 2111, 'Aunul Ma'bud XII: 147 no: 4433, Nasa’i VI: 110, namun
dalam Sunan Tirmidzi dan Sunan Ibnu Majah tanpa lafazh "menyita harta bendanya."
Tirmidzi II: 407 no: 1373 dan Ibnu Majah II: 869 no: 2607).
11. HUKUM ORANG YANG MENYETUBUHI BINATANG
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Barangsiapa yang
menyetubui binatang ternak, maka hendaklah kamu bunuh dia dan bunuh (pula)
binantang itu.” (Hasan Shahih: Shahih Tirmidzi no: 1176, Tirmidzi III: 1479,
'Aunul Ma'bud XII: 157 no: 4440, Ibnu Majah II: 856 no: 2564)
12. HUKUMAN ORANG YANG MELAKUKAN LIWATH, HOMOSEKSUAL
Apabila seorang laki-laki memasukkan penisnya ke dalam dubur laki-laki yang
lain, maka hukumannya adalah dibunuh, baik keduanya sudah pernah menikah taupun
belum.
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Siapa saja yang kalian
jumpai melakukan perbuatan kaum (Nabi) Luth, maka bunuhlah fa’il (pelakunya) dan
maf’ulbih (korbannya).” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2075, Tirmidzi III: 8
no: 1481, ‘Aunul Ma’bud XII: 153 no: 4438, Ibnu Majah II: 856 no: 2561).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi,
Al-Wajiz Fi
Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau
Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam
dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil
(Pustaka As-Sunnah), hlm 820 - 834.