Prinsip Kesebelas :Manhaj Ahlus Sunnah Dalam Bersikap dan Berakhlak
Dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari
Termasuk
dari prinsip ‘aqidah Salafush Shalih, Ahlus Sunnah wal Jama’ah: Bahwa
mereka memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar
(amar ma’ruf wa nahi munkar). (Ada beberapa syarat dalam merubah
kemunkaran, di antaranya:1. Orang yang melarang dari perbuatan kemungkaran harus mengetahui terhadap apa yang dicegahnya.
2. Agar meneliti lebih lanjut (agar pasti) bahwa perbuatan ma’ruf telah ditinggalkan sedang kemungkaran dipraktekkan.
3. Tidak merubah kemungkaran dengan kemungkaran lain.
4. Hendaknya jangan menyebabkan berubahnya kemungkaran yang kecil kepada kemungkaran yang lebih besar).Mereka percaya bahwa kebaikan ummat ini akan senantiasa tetap ada dengan ciri khas ini (amar ma’ruf dan nahi munkar), bahkan ciri khas ini merupakan syi’ar Islam yang paling agung dan merupakan sebab terpeliharannya kesatuan dalam Islam.
Amar ma’ruf adalah kewajiban sesuai dengan kondisi, dan kemaslahatan dipertimbangkan dalam hal itu. Allah Ta’ala berfirman, “Kamu adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepad ayang ma’ruf, dan mencegah yang munkar, dan beriman kepada Allah ....”(Ali Imran:110)
Nabi saw bersabda, “Barangsiapa diantara kalian
melihat suatu kemunkaran, maka hendaknya ia merubahnya dengan tangannya; jika
ia tidak mampu maka dengan lisannya; dan jika ia tidak mampu pula maka dengan
hatinya; yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)
Ahlus Sunnah wal Jama’ah mendahulukan dakwah
dengan cara yang lembut, baik berupa perintah maupun larangan, dan menyeru
dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Allah Ta’ala berfirman, “Serulah
(manusia) kepada jalan rabb mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik ...” (An-Nahl : 125).
Mereka memandang wajibnya bersabar bersabar atas
semua gangguan manusia dalam amar ma’ruf nahi munkar, berdasarkan firman Allah
Ta’ala, “....... Suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah
(mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa
kamu. Sesungghnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh
Allah).” (Luqman : 17).
Ahlus Sunnah, ketika menjalankan amar ma’ruf nahi
dan nahi munkar merekapun konsisten dengan prinsip lain yaitu menjaga kesatuan
jama’ah, menarik dan mempersatukan hati serta menjauhkan perselisihan dan
perbedaan.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah : Memandang perlunya
nasehat-nasehati bagi setiap muslim dan tolong-menolong dalam kebaikan dan
takwa. Nabi saw bersabda, “Agama itu adalah itu nasehat “Kami (para sahabat)
bertanya : Untuk siapakah nasehat tersebut ? Beliau menjawab “ Untuk Allah,
Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum
Muslimin dan ummat manusia” (HR. Muslim) (HR. Muslim no.55, Abu Dawud
no.4944, an-Nasa-i no.4199, 4200, dan Ahmad (IV/102-103) dari Sahabat Abu
Ruqiyah Tamim bin ‘Aus ad-Daari Ditakhrij secara lengkap oleh Syaikh al-Albani
dalam Irwaa-ul Ghalil no.26.
Ahlus sunnah wal Jama’ah senantiasa menjaga untuk
tetap menegakkan syiar-syiar Islam seperti mendirikan shalat Juma’at, shalat
jama’ah, haji, jihad dan merayakan hari lebaran (Idul Fithri dan Idul Adha)
bersama para pemimpin yang baik maupun yang jahat, berbeda dengan ahlul bid’ah.
Mereka bergegas dalam mendirikan shalat yang
fardhu dan pelaksanaanya tepat diawal waktunya dengan berjama’ah. Awal waktu
shalat tentu lebih baik daripada akhirnya kecuali shalat ‘Isya’. Dan menyuruh
agar khusyu’ dan thuma’ninah dalam shalat; berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam
shalatnya.” (Al-Mukminuun : 1-2).
Mereka saling menasehati untuk mendirikan shalat
malam, karena ini dari petunjuk Nabi saw dan bahkan Allah Ta’ala menyuruh
Nabi-Nya saw agar mendirikan shalat malam dan bersungguh-sungguh dalam ketaatan
kepada-Nya.
Dari ‘Aisyah ra bahwa Nabi saw shalat malam sampai
kedua telapak kaki beliau pecah-pecah, lalu ‘Aisyah bertanya : “Kenapa engkau
lakukan ini wahai Rasulullah, sedang Allah telah mengampuni dosamu yang telah
lalu dan yang akan datang?” beliau menjawab, “Tidak bolehkan aku ingin
menjadi seorang hamba yang bersyukur (kepada Allah)?” (HR. Al-Bukhari) (HR.
Al-Bukhari no.4837 dan Muslim no.2820 dair ‘Aisyah..
Ahlus Sunnah wal Jama’ah tabah terhadap musibah,
yaitu dengan bersabar ketika (mendapatkan) malapetaka, bersyukur ketika
(mendapatkan) kenikmatan dan rela dengan pahitnya takdir. Allah Ta’ala
berfirman, “... Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang
dicukupkan pahala tanpa batas.”(Az Zumar:10)
Nabi Saw
bersabda, “Sesungguhnya besarnya pahala itu (tergantung) dengan besarnya
musibah. Sesuhngguhnya jika Allah mencintai suatu kaum pasti menguji mereka.
Barangsiapa yang ridho, maka (Allahpun) ridha kepadanya. Dan barangsiapa murka,
maka (allahpun) murka kepadanya.” (Shahih Sunan at-Tirmidzi oleh Imam
al-Albani) (HR. at Tirmidzi no.2396, Ibnu Majah no.4031 dari sahabat Anas bin
Malik. Imam At.Tirmidzi berkata : “Hadits hasan gharib” Dihasankan oleh Syaikh
al-Albani dalam Shahiih sunan at-Tirmidzi (II/286) dan Silsilatull Ahaadiitsish
Shahiihah, Jilid I bagian I hal.276, no.146.
Ahlus Sunnah
tidak mengharap dan tidak meminta musibah kepada Allah, karena mereka tidak
tahu : Apakah mereka bisa tabah atau tidak? Akan tetapi jika mereka diuji, maka
mereka bersabar. Nabi saw bersabda, “Jangalah kamu berharap untuk bertemu
dengan musuh, tetapi memohonlah keselamatan kepada Allah! Jika kamu berhadapan
dengan mereka, maka bersahabatlah!” (muttafaq’alaih)
Ahlus Sunnah wal
Jama’ah tidak berputus asa dari rahmat Allah ketika mendapatkan bencana, karena
Allah Ta’ala telah mengahramkan hal itu. Tetapi mereka berharap solusi yang
segera datang dan pertolongan (Allah) yang pasti disaat turun bala’; karena
mereka percaya dengan janji-Nya dan mengetahui bahwa setelah kesulitan pasti
akan datang kemudahan. Mereka mencari sebab terjadi malapetaka tersebut pada
dirinya sendiri, bahkan mereka berpandangan bahwa melapetaka dan musibah itu
tidak akan menimpanya kecuali karena ulah tangannya sendiri. Mereka mengetahui
bahwa pertolongan terkadang terlambat datangnya disebabkan perbuatan maksiat
dan kelalaian dalam beri’ttiba’. Berdasarkan firman Allah, “Dan apa saja
musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu
sendiri …...” (Asy-Syura:30).
Dalam
(menghadapi) cobaan dan pembelaan terhadap agama mereka tidak menggantungkan
kepada sebab-sebab alami, tipu daya yang bersifat duniawi dan sunnah-sunnah
kauniyyah, sebagaimana pula mereka tidak mengabaikan hal itu, sebelum itu
mereka berpandang bahwa bertakwa kepada Allah Ta’ala dan istighfar dari dosa
dan noda, bergantung kepada Allah dan bersyukur dikala gembira merupakan sebab
yang penting dalam mempercepat tibanya kemudahan setelah kesusahan.
Ahlus Sunnah wal
Jama’ah takut dan cemas terhadap adzab karena kufur nikmat, oleh karena itu mereka
termasuk manusia yang paling suka bersyukur dan memuji kepada Allah serta terus
menerus bersyukur kepada setiap nikmat yang kecil maupun yang besar. Nabi saw
bersabda, “Lihatlah kepada orang yang berada dibawahmu dan janganlah melihat
kepada orang yang berada diatasmu; karena sesungguhnya hal itu lebih layak agar
kamu tidak memandang rendah nikmat Allah atasmu.” (shahih Sunan at
Tirmidzi, oleh al-Imam al Albani) (HR. Al-Bukhari no.490, Muslim no.2963 (9),
at-Tirmidzi no.2513, dan Ibnu Majah no.4142 dari Sahabat Abu Hurairah.)
Ahlus Sunnah
menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia dan perbuatan yang baik. Nabi saw
bersabda, “Orang Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik
budi pekertinya.” (Shahih Sunan at-Tirmidzi, oleh Imam al-Albani) (HR.
at-Tirmidzi no.1162, Ahmad (II/250, 472), Abu Dawud no.4682 dan Al-Hakim (I/3),
dari Sahabat Abu Hirairah. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul
Ahaadiitsish Shahiihah no.284).
Beliau juga
bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling kucintai dan paling dekat tempat
duduknya dariku di antara kalian pada hari kiamat adalah orang yang paling baik
akhlaknya” (Shahih Sunan at-Tirmidzi, oleh Imam al Albani) (HR. At Tirmidzi
(no.2018), ia berkata : Hadits hasan”. Dari sahabat Jabir ra Hadits ini ada
beberapa syawahid, lihat Silsilatul Ahaadiitsish Shahiihah no.791.)
Sabdanya, “Tidak
ada sesuatu yang diletakan di timbangan yang lebih berat daripada akhlak yang
baik. Dan sesungguhnya orang yang berakhlak mulia pasti akan sampai pada drajat
orang yang selalu puasa dan shalat.” (Shahih Sunan at Tirmidzi, oleh Imam
al-Albani) (HR. at Tirmidzi no.2003 dari Sahabat Abu Darda’. Dishahihkan oleh
Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’ish Shaghiir no.5726.
Beberapa Akhlak Salafush Shalih Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah.
·
Ikhlas dalam berilmu dan beramal
serta takut riya’. Allah Ta’ala berfirman :
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih
(dari syirik).” (Az-Zumar:3)
·
Mengagungkan hal-hal yang dilarang
oleh Allah Ta’ala, ghirah (cemburu) jika larangan-larangan-Nya dilanggar,
membela agama dan syariat-Nya dan banyak memuliakan hak-hak kaum Muslimin serta
senang kebaikan untuk mereka. Allah Ta’ala berfirman, “Dan barangsiapa
mengagungkan syi’ar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan
hati.” (Al Hajj:32)
·
Berupaya meninggalkan nifaq,
dimana penampilan lahir dan bathinnya sama dalam melakukan kebaikan, menganggap
sedikit amalan yang mereka perbuat dan selalu mendahulukan amal akhirat
daripada amal dunia.
·
Lunak hatinya, banyak menangis
atas yang mereka lalaikan dalam hak-hak Allah Ta’ala (dengan demikian)
mudah-mudahan Allah memberikan rahmat-Nya kepadanya. Banyak mengambil pelajaran
dan memperhatikan dengan urusan kematian. Mereka menangis jika melihat jenazah
atau mengingat mati dan sakaratul maut serta su’ul khatimah (akhir hayat yang
jelak) sehingga meruntuhkah hati mereka)
·
Bertambah tawadhu’ setiap
meningkat derajat kedetakannya kepada Allah Ta’ala.
·
Banyak beraubat, istighfar siang
malam karen apersaksian mereka bahwa mereka tidak dapat selamat dari dosa dan
noda walaupun dalam ketaatannya. Lalu mereka memohon ampunan dari
kekurangannya, senantiasa merasa diawasi Allah dalam (segala hal) dan tidak
ujub dalam amal perbuatannya serta benci akan ketenaran bahkan mereka selalu
mlihat kunga dan lalai dalam ketaatan (keapda-Nya), apalagi kejelakannya.
·
Melaksanakan takwa kepada Allah
dengan sangat cermat, tidak menganggap dirinya sebagai orang yang bertakwa.
Mereka banyak takut kepada Allah Ta’ala.
·
Sangat takut dari su’ul khatimah,
tidak lalai berdzikir kepada Allah Ta’ala. Dunia dimata mereka sesuatu hal yang
rendah dan sangat menolaknya. Tidak banyak menaruh perhatian terhadap
pembangunan rumah kecuali jika diperlakukan tanpa dihiasi (yang berlebihan).
Nabi
saw bersabda, “Demi Allah, tidaklah
(kehidupan) dunia dibandingkan dengan (kehidupamn) akhirat melainkan seperti
seseorang diantara kamu masukkan jarinya dalam laut; maka perhatikanlah apa
yang dibawah kembali jari tersebut” (HR. Muslim). (HR. Muslim no.2858, at
Tirmidzi no.2323 dan Ibnu Majah no. 4108 dari al-Mastaurid
·
Tidak ridha jika kesalahan terjadi
pada agama maupun orang yang memeluknya, bahkan membantahnya dan mencari alasan
bagi orang yang mengatakannya, jika orang tersebut bisa diterima alasannya.
Banyak menutupi (aib) saudaranya sesama muslim, sering mengintrospeksi dirinya
dalam hal wara’. Tidak senang menampakkan aib seseorang, menyibukkan diri
dengan aibnya sendiri daripada aib orang lain, bersungguh-sungguh menutupi aib
orang lain dan memegang rahasia. Tidak menyampaikan apa yang didengar tentang kehormatan
seseorang, meninggalkan permusuhan terhadap orang. Banyak bersikap lembut dan
tidak menghadapi seseorang dengan perilaku yang jelek. Jadi mereka tidak
memusuhi seseorang pun. Nabi saw bersabda, “Tidak akan masuk surga tukang fitnah” (HR. Bukhari) (HR. Al-Bukhari
no.105 (169, 170), at Tirmidzi no.2026, Abu Dawud no.4871 dan Ahmad (V/382,
389, 392), dari Sahabat Hudzaifah. “Tidak akan masuk surga tukang adu
domba.” (HR. Muslim no.105 (168) dan Ahmad (V/391, 396, 398, 406), dari
Sahabat Hudzaifah.
·
Menutup pintu ghibah
(penggunjingan) dalam majelisnya dan mereka menjaga lidahnya dari hal tersebut;
agar majelisnya tidak menjadi majelis dosa. Allah Ta’ala berfirman, “…Dan
janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah
seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah
kamu merasa jijik kepadanya ….” (Al-Hujuraat :12).
·
Sangat pemalu, berbudi pekerti,
berkasih sayang, tenang, berwibawa, sedikit bicara, sedikit tertawa, banyak
diam, berbicara dengan hikmah untuk mempermudah orang yang mencari (informasi dan lain-lain), tidak
riang dengan suatu urusan duniawi. Yang demikian itu karena kesempurnaan akal
mereka. Nabi saw bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari
akhir, maka berkatalah yang baik atau diam.” (Muttafaq’alaih) (Hr.
Al-Bukhari no.6475, Muslim no.47 (74), at-Tirmidzi no.2500 dan Abu Dawud
no.5154 dari Sahabat Abu Hurairah.)
Dan beliau juga bersabda, “Siapa yang (banyak) diam
pasti selamat” (Shahih Sunan at-Tirmidzi no.2500 dan Abu Dawud no.5154 dari
Sahabat Abu Hurairah).
·
Pemaaf kepada setiap orang yang
mengganggunya baik dengan memukul, mengambil hartanya maupun melecehkan
kehormatannya atau yang semisalnya. Allah Ta’ala berfirman, “… Dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah
menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran:134).
·
Tidak lalai dalam memerangi iblis,
bersungguh-sungguh untuk mengetahui tipu daya mereka. Tidak was-was saat wudhu’
shalat dan ibadah lainnya; karena semuanya itu (datangnya) dari syaitan.
·
Banyak shadaqah siang-malam dari
segala sesuatu yang lebih dari yang keperluan mereka, secara sembunyi-sembunyi
maupun terang-terangan. Banyak menanyakan tentang keadaan teman-temannya. Yang
demikian itu dengan tujuan untuk membantunya dari apa yang mereka perlakukan
baik makanan, pakaian, harta, dan tidak berlebihan dalam hal yang halal bila
mereka mendapatkannya.
·
Mencela kekikiran, banyak bermurah
hati dan dermanwan, mengeluarkan sebagian hartanya, membantu saudaranya di saat
berpergian maupun tidak. Karena dengan demikian akan terjadi (satu sama lain)
saling bahu menbahu dalam membela agama, di mana hal itu merupakan maksud dan
tujuan mereka. Mereka sangat senang berbuat kebaikan kepada saudaranya, saling
menyenangkan orang lain dan mendahulukan saudarannya dalam hal itu daripada
dirinya sendiri.
·
Menghormati tamu dan melayaninya
dengan dilakukan sendiri kecuali kalau ada halangan. Kemudian mereka tidak berpandangan
bahwa mereka telah membalas budi dan menjamunya dengan tinggal di rumahnya
serta berhusnu dzhan (berbaik sangka) kepada tamu tersebut. Memenuhi undangan
saudarannya kecuali kalau makanannya haram atau jika mengkhususkan undangan
hanya untuk orang kaya tanpa mengundang orang miskin atau bila ditempat walimah
ada suatu maksiat.
·
Sopan santun terhadap anak kecil,
apalagi kepada orang dewasa, juga terhadap orang yang jauh (hubungan
kerabatnya) apalagi kepada orang yang dekat, serta terhadap orang yang jahil
apalagi kepada orang yang alim.
·
Mendamaikan perselisihan karena
hal itu termasuk sebaik-baik pintu kebaikan bahkan puncaknya, dan dikarenakan
pula : mendamaikan orang yang berselisih itu akan merusak strategi dan rencana
syaitan yang tujuannya menciptakan permusuhan, kebencian di kalangan kaum
Muslimin dan merusak hubungan diantara mereka.
·
Melarang dengki, iri hati, karena
hal itu akan menimbulkan permusuhan, kebencian, kelemahan iman dan cinta dunia
dan seisinya tanpa ada tujuan yang syar’’i.
·
Menyuruh berbakti dan berlaku baik
kepada kedua orang tua.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan kami wajibkan manusia
(berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya…” (Al-Ankabuut:8)
·
Memerintahkan agar berbuat baik
kepada tetangga, belas kasihan sesama hamba Allah menghubungkan tali
persaudaraan, menyebarkan salam, belas kasihan terhadap fakir miskin, anak
yatim dan orang yang sedang bepergian.
·
Melarang sikap sombong, congkak,
ujub, lalim, dan sombong terhadap orang lain tanpa alasan yang benar dan
menyuruh selalu bersikap adil dalam segala sesuatu.
·
Tidak menyepelekan suatu kebaikan
yang syari’at kita telah mengajurkan untuk melakukannya. Nabi saw bersabda, “Janganlah
kamu meremehkan kebaikan sedikitpun, walaupun hanya dengan wajah yang
berseri-seri ketika kamu bertemu suaramu.” (HR. Muslim) (HR. Muslim no.2626
(114) dan at-Tirmidzi no. 1833 dari Sahabat Abu Dzar al-Ghifari.
·
Melarang su’uzdan (buruk sangka),
memata-matai dan mencari-cari kekurangan (aib) kaum Muslimin karena yang
demikian itu akan merusak hubungan kemasyarakatan, memecah belah diantar
asaudara, menimbulkan kerusakan dan mereka tidak marah untuk dirinya sendiri
karena mereka memahami fiqih marah.
Allah Ta’ala berfirman, “… dan orang-orang yang
menahan amarahnya dan memafkan kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang
yang berbuat kebajikan.” ( Ali Imran:134)
dan lain-lainnya dari akhlak Nabi saw. (Dakwah kepada
manhaj Salafush Shalih bertujuan untuk membangun generasi yang sesuai dengan
generasi pertama, dimana mereka didik oleh tangan Rasulullah saw. Allah Ta’ala
telah memuji Rasul-Nya dalam firman-Nya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar
berbudi pekerti yang agung.”(Al-Qalam:4)
maksudnya
bukanlah hanya sekedar sesuai dalam masalah ‘aqidah saja walaupun tentunya
aqidah merupakan pokok yang pertama dan paling penting, akan tetapi maksudnya
agar kita sesuai dengan Salafush Shalih dalam segala urusan agama kita yang
agung ini. Karena manhaj salaf itulah yang kita seru manusia kepadanya. Bukan
hanya sekedar pengetahuan dalam pikiran saja; akan tetapi hendaknya manhaj
mereka mencakup (urusan) aqidah, konsep, sikap dan akhlak. Sangat disayangkan,
kami dapatkan di zaman serba moderen ini bahwa urusan yang penting dari manhaj
salaf tidak mendapatkan perhatian, dan tarbiyyah. Sedang Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya
tidaklah aku diutus melainkan untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR.
Al –Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no.273 (shahih al Adabul Mufrad no.207),
Ahmad (II/381), dan al-Hakim (II/613), dari Abu Hurairah ra. Dishahihkan oleh
Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiitsih Shahihah no.45)
Maka
salaf telah mencontoh Rasulullah saw, berakhlak sebagaimana akhlak Rasulullah
dan menjalankan perintahnya. Keadaan mereka seperti yang difirmankan Allah, “Kamu
adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia …” (Ali Imran:110).
Jika
kita menghendaki keselamatan (dunia dan akhirat) maka kita hars (mengamalkan)
seperti yang (diamalkan) Salafush Shalih ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in.
Sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama'ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama'ah)